top of page
  • Writer's pictureStanislaus Yangni

Estetika Sublim ala Lyotard

Draft presented at Faculty of Philosophy Universitas Gajah Mada, on Book Discussion Seni Nirmanusia, 2016 (Yongki Gigih Prasisko, published by Ladang Kata & Brikolase, 2016)



Left: Newmann, Right: Duchamp



Modern: formal beauty – sublim. Perihal modern tak bisa dilepaskan dari soal waktu. Bagaimana manusia menyadari waktu, memikirkan soal waktu, dan memperlakukan waktu. Perubahan konsepsi waktu dari siklis ke linear .... maka modernitas, bagi Lyotard, merupakan mode – yang tak lain adalah cara manusia mengatur waktu- modern mode ...

Demikian pula avant garde – yang banyak dibicarakan Lyotard, bukan nama dari sebuah aliran seni, melainkan sebuah semangat, eksperimen, cara memperlakukan pengalaman yang dicoba diungkapkan dalam karya seni. Dalam konteks seni modern juga terjadi pergeseran pandangan – dari keindahan formal yang menekankan pada bentuk ideal sebagai acuan berkesenian, menuju ke ranah yang lebih “di luar” bentuk – di luar konsepsi pikiran, yaitu ke pengalaman konkret. Kenyataan pergeseran ini menimbulkan masalah ketika kita melihat estetika Kant yang mengacu pada forma.


Kebuntuan estetika Kant.Lalu bagaimana kelanjutan estetika jika forma sudah runtuh, ... jika tak mungkin lagi bentuk ideal menjadi ukuran? Bagaimana jika sublim dinamis tak diteruskan, atau pendek kata, telah dihentikan lajunya oleh Rasio, atau sekadar menunjukkan keterbatasan pengetahuan manusia? di sinilah letak kebuntuan rasionalitas Kant. Lalu estetika macam apa yang memadai untuk “membicarakan” seni?


Sublim dinamis, the unpresentable.So one cannot present the absolute. But one can present that there is some absolute. This is a ‘negative presentation.’”[1]Sebenarnya Kant telah membuka peluang untuk memikirkan lebih lanjut estetika sublim melalui pemikirannya mengenai sublim dinamis. Sublim dinamis Kant membuka kemungkinan bahwa ada yang tak dapat dipikirkan, ada ketidakterbatasan – kenyataan bahwa ada yang tidak terbatas itu membuka peluang untuk memikirkan ulang kenyataan dan cara berpikir kita. Meski Kant hanya sampai pada merumuskan batas-batas pengetahuan manusia, namun ia menemukan bahwa ketidakterbatasan yang tidak dapat dicapai oleh rasio itu ada – the unpresentable exists. Namun, dalam konteks sublim dinamis itu, Kant sibuk dengan konflik internal yang terjadi dalam pikiran: antara rasio dan imajinasi, .... dan akhirnya menarik kembali Imajinasi pada rasio – dengan membentuk Idea of the Sensible – the unpresentable dirumuskan sebagai pengetahuan, sebagai ide ketidakterbatasan, .... sementara Lyotard memberi perhatian pada penghadirannya itu, presentation - the presentable atas kenyataan yang tidak terhadirkan (the unpresentable) ... sebab, bagi Lyotard, ketidakterbatasan, atau ketidakdapatdihadirkan itu ... tidak dapat menjadi obyek pengetahuan (seperti pandangan Kant). “... the infinite or the unthought cannot be an object of knowledge, since we have concept of it[2].”(145) Soal kemungkinan penghadiran ini ditemukannya lewat berbagai eksperimen dalam seni modern -.. “kemungkinan penghadiran atas fakta bahwa sesuatu yang tidak terhadirkan itu ada” merupakan sebuah pertanyaan yang coba dijawab oleh seni modern.


Quod & quid.Pembedaan ini mungkin membantu kita untuk memahami .... kalau quod menyajikan halnya, that something happens, quid bertanya apa itu (isinya), what happens. Yang pertama ini yang ditekankan Lyotard, sementara Kant lebih menekankan soal quid. “The quid is an object of cognition but the quod os an object of feeling.”[3]


Kritik terhadap solipisme Kant.Bagi Lyotard, pandangan Kant yang tertutup hanya berkutat dalam pikiran itu sendiri, “determinate (rational) thought” itu justru tidak memungkinkan terjadi proses berpikir. Mengapa? Karena semua sudah ada ketentuannya, menuntup kemungkinan bagi adanya hal-hal yang spontan dan tidak terduga. Bagi Lyotard, berpikir merupakan “a type of emptying of the mind, an emptying that is required if the mind is to think.”[4](Pengosongan yang dibutuhkan oleh pikiran agar pikiran bisa menjalankan fungsinya. Dengan kata lain, Lyotard menyebutnya sebagai “reflective thought.” Titik tolak pembedaan Kant dan Lyotard dalam berpikir ini penting untuk melihat pandangan Lyotard selanjutnya.


Sublim Lyotard.Istilah sublim sendiri sebenarnya telah diperkenalkan oleh Longinus ... di masa lampau sekali, namun baru mendapat posisi/kedudukannya pada masa Kant (modern). Sublim paling kentara ketika berhadapan dengan kecenderungan seni yang kita sebut modern. Sublim dalam konteks pemikiran Lyotard bisa dilihat sebagai “penanda” atas pergeseran zaman: klasik-modern yang menuju postmodern (istilah yang terakhir ini problematik, antara kelanjutan masa modern, keterputusan, kebaruan, atau sebuah awal yang baru dari modern) lewat seni. Dalam seni terjadi perubahan dari keindahan formal yang dipuja pada masa klasik menuju modern yang tak lagi menekankan sekadar pada bentuk (forma) ideal, meninggalkan “keindahan” a la École des Beaux Art sekitar abad 18 yang menekankan kesempurnaan drawing dan bentuk. Dari knowingke seeing(dari melukis di dalam studio dengan aturan tertentu menuju bentuk & warna ideal ke melukis outdoor, melihat langsung apa yang ada di depan mata). Oleh karena itu, estetika keindahan (forma ideal) tak memadai lagi untuk membicarakan seni. Seni telah bergeser - tak lagi menekankan bentuk, melainkan force (invisible), - dan perihal cara menghadirkan yang tak kelihatan itu. – dalam konteks ini Lyotard menariknya pada perihal waktu, time.


Sublim: antara Kant dan Lyotard. Bagi Kant, keberadaan sublim itu menunjukkan batas-batas rasio dan pengetahuan manusia, bahwa melalui ketidakmemadaian imajinasilah manusia sadar atas keberadaan yang suprasensible. Sublim bagi kant menunjukkan superioritas pikiran manusia atas alam – ia membuka kesempatan bagi manusia menguasai alam. Namun, sublim bagi Lyotard adalah yang tak terpikirkan itu sendiri, bukan kemampuan kita untuk berpikir mengenai sesuatu yang tak dapat direpresentasikan. Dengan kata lain, sublim bukan dihasilkan, bukan milik dari subyek. Bagi Kant, apa yang membuktikan bahwa kita manusia adalah apa yang dapat dipikirkan, dilakukan, bagi Lyotard, manusia adalah apa yang belum kita lakukan, apa yang lack, “the inhuman.” Bagi Lyotard bahwa hanya melalui ketidakmemadaian melalui inhumanitas itulah kita menjadi manusia.


Time, event, occurence, presence. Lyotard menarik sublim pada persoalan mengenai waktu. Namun, apa yang dimaksud dengan time? Di sini waktu (time) bukan waktu dalam artian kalender, bukan waktu obyektif, bukan pula istilah “kemarin,” “sekarang,” atau “besok,” bukan pula “nanti,” “akan,” dan sebagainya. Waktu yang dimaksud Lyotard tak lain adalah kemewaktuan itu sendiri, the Now, namun the nowbukan yang sekarang, -- melainkan semacam kehadiran yang hadir begitu saja, momen, penampakan, epifani. Time menjadi sesuatu yang tak dapat dihadirkan tapi selalu hadir, “keterjadian” – sesuatu yang terlupakan saat itu terjadi, sebelum diberi arti: “that ittakes place now.”“... the presenting present cannot be grasped; it is not yet or no longer present. It is always too soon or too late to grasp presentation itself and present it.” Karena itu, presentation itu sendiri, the present dan presentation menjadi absolut – mengelak dari segala bentuk definisi.


Karya seni sebagai event.Lalu bagaimana seni menjadi event? Persoalan waktu ini bisa lebih jelas ketika berhadapan dengan karya Newman.[5]Newman menjadikan permukaan lukisan menjadi problem orang mengalami waktu – bahwa itu terjadi, hanya terjadi ... “The message is the presentation, but it present nothing; it is that is, presence.”[6]Waktu menjadi semacam penyingkapan atas momen itu sendiri pada saat itu – Voila! Di mana orang hanya bisa bergumam, sebab tak ada kata untuk itu – ketika dikatakan bisa jadi terlalu awal atau justru sangat terlambat. Demikian sublim ada dalam time, the Now, event, the unpresentable.


Newman & Duchamp.Dua seniman ini ditulis dan dibahas Lyotard dalam The Inhuman. Lyotard menemukan dua bentuk yang berbeda mengenai penghadiran time, Newman yang poetic, dan Duchamp yang tematik.[7]Newman menghadirkannya dengan langsung membuat lukisan itu menghadirkannya sendiri, sedangkan Duchamp mengarahkan pandangan dan pikiran manusia agar memahami bagaimana waktu itu merambah, melampaui, melewati, luput dari kesadaran manusia.





Sumber bacaan:

“Lyotard’s Sublime: The Ontologization of the Image” dalam Temenuga Trifonova, The Image in French Philosophy(Rodopi, NY 2007)

David Cunningham, “How the Sublime Became Now: Time, Modernity, and Aesthetics in Lyotard’s Rewriting of Kant”

Jean Francois Lyotard, The Inhuman: Reflection in Time(Polity Press, 1991).


[1]The Inhuman, 126

[2]The Image 145

[3]The Image .... 145

[4]The Image in French Philosophy, (152)

[5]Barnett Newman sendiri punya tulisan “The Sublime is Now” yang ditulisnya pada 1948.

[6]The Inhuman, 81

[7]The Inhuman, 79

bottom of page