top of page
  • Writer's pictureStanislaus Yangni

Kritik (dan) Seni (di) Indonesia

Presented at Makassar Biennale 2015 and Workshop Penulisan IVAA 2018




Maraknya kritik seni di Indonesia tampaknya sezaman dengan polemik yang terjadi sehubungan dengan ada tidaknya seni lukis (rupa) di Indonesia. Itu terjadi pada pertengahan zaman kolonial, saat berlangsungnya polemik kebudayaan sekitar 1933-1939, hingga Jepang datang ke Indonesia. Sejak zaman kolonial, kritik mula-mula diluncurkan oleh orang Belanda kepada pelukis Indonesia. Kemudian, di era 1937an, Sudjojono dan kawan-kawannyalah yang bisa dikatakan sebagai pelukis Indonesia pertama (meskipun ia bukan generasi pertama)[1]yang melancarkan berbagai kritik terhadap pelukis Indonesia. Begitu pula perdebatan mengenai apa itu kritik, kesadaran pentingnya kritik dan posisinya dalam seni lukis Indonesia berkembang bersamaan dengan polemik kebudayaan, perihal pencarian identitas Indonesia. Di kalangan seniman sendiri, seperti Nashar, Zaini, Oesman Effendi juga kerap melakukan kritik satu sama lain. Bahkan Nashar dalam catatan malamnya[2]sering melakukan semacam otokritik. Di ranah yang lebih akademis, ada Sanento Yuliman yang secara khusus mengadakan pengarsipan dan penelitian mengenai keberadaan, keadaan dan bagaimana berjalannya kritik seni di Indonesia sesungguhnya.


Penulis kritik di Indonesia (selain orang Belanda) pada waktu itu juga mula-mula muncul dari senimannya sendiri selain juga oleh beberapa sastrawan dan pengamat kebudayaan. Mereka di antaranya adalah Oesman Effendi, Trisno Soemarjo, Basoeki Resobowo, Agus Djaja, Dan Suwaryono, Sanusi Pane, Kusnadi, Zaini, Baharuddin MS, dan lainnya. Pada masa itu kritik masih berfokus pada keberadaan identitas Indonesia dalam seni. Kemudian kritik berkembang ke arah kerakyatan dan revolusi. Karena itu karya harus memuat pesan politik yang bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Tulisan mereka banyak dimuat di berbagai media massa zaman itu seperti Zenith, Budaya, Siasat, Star Weekly, Mimbar Indonesia, Pandji Poestaka.


Namun kesemua kritik itu berhadapan hanya dengan satu hal, bahwa seni lukis Indonesia selalu dianggap tidak ada. Jika benar, apa yang membuatnya tidak ada? dan apa yang mungkin bisa “mengadakannya”? Kritik semacam apa mungkin yang bisa ditawarkan kini di zaman sekarang (kontemporer) di mana kritik bisa dikatakan tidak ada, alias mati?

Tulisan ini tidak akan membahas perihal kritik secara teoretis, kritisisme atau perihal kritik itu sendiri. Alih-alih bicara mengenai itu, saya ingin membawa teman-teman pada sebuah gambaran keberadaan kritik seni rupa di Indonesia dan berbagai problemnya. Tulisan ini dibagi menjadi dua bagian besar, pertama memaparkan secara singkat bagaimana seni dan kritik itu saling berkaitan dalam konteks anggapan “seni lukis indonesia tidak ada.” Kedua, semacam refleksi dan tawaran atas kritik seni sekarang dengan mempertimbangkan berbagai masalah yang umum terjadi dalam dunia kritik itu sendiri.


1. Duka Seni (rupa) Indonesia§


“Si kritikus harus berdiri lepas dari segala golongan-golongan menggambar. Dia tidak boleh mencatat golongan ini lebih jelek dari golongan itu, akan tetapi harus bisa menghargai kebagusan golongan masing-masing. Meskipun anggapan dia masih juga subyektif, sebab dia sebagai orang biasa tak bisa mungkin bisa sama cintanya pada golongan-golongan yang ada, tetapi toh sebisa-bisa oordeel(pendapat, penilaian?) dia itu mesti seobyektif-obyektifnya. Dan saya berani tanggung, bahwa obyektivitas ini terpaksa akan selalu ditinggalkannya. Ini tidak mengapa, boleh dimaafkan. Tetapi ada suatu kewajiban yang mesti semua kritikus-kritukus bisa, dan harus memegang kuat, yaitu: DIA HAROES BISA MERABA JIWA DALAM GAMBAR ATAU LUKISAN YANG DIBUAT OLEH SI SENIMAN. Sebab tanpa kecakapan ini dia akan hanya membingungkan publik saja, dan menghambat kembangnya kesenian yang sejati.” (SS, “Criticus dan Peloekis,” dalam Seni Loekis, Kesenian dan Seniman, 1946, Jakarta: Indonesia Sekarang, dibakukan ejaannya oleh penulis)

Sudjojono menulis itu salah satunya sebagai kritiknya atas kritikus Belanda di Jakarta waktu itu yang ironisnya, dengan pengetahuan seni yang tinggi, tak memahami bahwa mereka memiliki kewajiban: DIA HAROES BISA MERABA JIWA DALAM GAMBAR ATAU LUKISAN YANG DIBUAT OLEH SI SENIMAN. Akibatnya, “Mereka hanya membingungkan publik saja,” kata Sudjojono. Perihal kritik ini erat kaitannya dengan kondisi seni lukis Indonesia yang berkali-kali dikatakan “belum ada,” bahkan “tidak ada” oleh beberapa kritikus Belanda. Lewat PERSAGI nya (berdiri 1937), Sudjojono dan kawan-kawannya membela keras. Namun kenyataannya, apa yang salah di sini hingga sampai zaman setelah PERSAGI pun, seni lukis tetap dianggap tidak ada? Apa yang membuatnya tidak ada? Senimannya kah, kritikusnya kah? Dalam tulisannya itu Sudjojono meyakini bahwa kritikus dan seniman tidak dapat dipisahkan. Bahwa ketika salah satunya tidak berfungsi baik itulah yang akhirnya, nanti dipaparkan di bawah ini, bisa dilihat sebagai salah satu sebab “tidak ada”nya seni lukis Indonesia.


Perihal duka seni lukis Indonesia ini tercatat dimulai dari muramnya seni lukis Indonesia era 1928an menurut P. A. J. Moojen (baca: Moyen, 1879-1955). Ia mengatakan “muram” karena melihat lukisan dari zaman Raden Saleh (1807-1880), yang dianggap sebagai puncak seni lukis modern karena dengan sempurnanya mencerap teknik klasik-romatisisme Barat waktu itu, hingga zaman setelahnya, masih sama. Jauh setelah Raden Saleh, muncul Indische Shilder[3]yang tergabung di antaranya Mas Pirngadie (1875-1936), Wakidi (1889-1979), Abdullah Suriosubroto (1878-1941). Mereka melukis pemandangan alam, “mooi indie” – memperlihatkan kemolekan alam Indonesia, eksotis dengan teknik yang masih sama, dengan gaya yang masih serupa dokumentasi perjalanan atas alam Indonesia (seperti yang pernah dikerjakan juru gambar Belanda yang didatangkan untuk mendokumentasi Indonesia). Karena itulah Moyen menyimpulkan bahwa ada yang salah dengan pendidikan seni di Indonesia, di mana pelukis Boemiputra, ia menyebutnya, telah “salah asuh” tidak berhasil memunculkan apa yang dia sebut sebagai “seni Jawa Nasional.”


Wajah seni lukis zaman kolonial yang dikritik Moyen itu ternyata masih berlangsung hingga era Basoeki Abdullah, anak dari Abdullah Surio Subroto. Padahal Basoeki itu pelukis seangkatan Sudjojono. Maka, menjadi hal yang genting bagi Sudjojono menyuarakan apa itu melukis, menjadi seniman, dan lukisan. Kecaman atas mooi indieini lebih keras dilanjutkan oleh Sudjojono. Demi menghidupkan seni lukis Indonesia, yang mooi indieitu harus “dibasmi.” Ia ingin menghidupkan seni lukis Indonesia. Menurutnya, seni lukis itu bukan tema, bukan teknik, tapi cara mewujudkan. Memunculkan “Indonesia” dalam seni lukis itu bukan menggambar benda-benda kuno, atau apa-apa yang ada di Indonesia, melainkan ekspresinya, “cara mewujudkannya.” Bukan jembatan, patung-patung kuno, petani di sawah, dan sebagainya, melainkan cara melukiskannya, “sapuan kuasnya,” “bekas tangannya,” istilah Sudjojono. Sebab, bagi Sudjojono, lukisan adalah “jiwa tampak,” dan lewat cara mewujudkan itu muncul sisi kemanusiaan seseorang. Namun, usaha menyadarkan teman-teman seniman itu seakan sia-sia. Setelah pameran PERSAGI sekitar 1947, ternyata masih ada anggapan seni lukis Indonesia belum ada. Kritik ini diluncurkan oleh J. Hopman, Bagi Hopman, lukisan kelompok PERSAGI yang ia lihat pada pameran di Gedung Kunstskring pada 1947 itu masih meniru Barat. Ia mengatakan dalam tulisannya, “Ada dua hal pasti: di Indonesia sekarang ada minat pada seni bentuk dan kecakapan.”[4]“Seni bentuk dan kecakapan” itu jelas bukan pujian sebab seni mana yang hanya berhenti pada bentuk dan kecakapan semata? Tentu saja Sudjojono geram. Ia menjawab Hopman, “Kita bangsa Indonesia mengakui, bahwa corak seni lukis di sini bercorak Barat sekarang. Tetapi untuk dikatakan bahwa ini bukan seni lukis Indonesia, ini tidak benar.”[5]


Namun di periode PERSAGI dan setelahnya, banyak muncul berbagai corak, berbagai gaya melukis. Pendek kata, walau tetap dianggap “tidak ada,” namun, dari sisi senimannya, setidaknya pandangan dan semangat Sudjojono sudah bisa dilihat pengaruhnya.

Sekitar dua puluh tahun setelahnya, tepatnya pada Agustus 1969, karena melihat seniman muda yang serta merta mengikuti gaya yang senior, dan seperti lesu tidak punya daya mewujudkan sendiri, Oesman Effendi berkata,


“Selama pelukis Indonesia tidak bisa mengucapkan yang khas dari dirinya, selama itu pula tidak ada seni lukis Indonesia.[ ]. Yang ada hanya para pemuda-pemudi kita jaman sekarang, bisa melukis. Mereka juga banyak tahu, bentuk yang bagus, dan warna yang bagus. Mereka tahu sejarah seni lukis dan kebudayaan dunia. Itu tentu kabar baik. Tapi sayang tidak ada yang tahu kekuatan apa yang terkandung dalam jiwanya. Itulah yang menjadi masalah besar bagi kita. Kalau semua terus begini, bangsa kita akan dianggap kerdil”.[6]


Melihat kenyataan itu, Oesman Effendi akhirnya menyatakan “Tidak ada seni lukis Indonesia.”[7]Tapi kali ini Sudjojono tidak marah. Sebaliknya, ia pun mengakui kelemahan seni lukis masa itu. Sanento Yuliman, salah satu sosok yang mungkin bisa dianggap sebagai kritikus waktu itu, mungkin jengah, tapi dia melihat keadaannya “tidak adanya seni lukis indonesia” itu dari sisi lain. Selain dari sisi seniman yang selama ini dilihat oleh Oesman dan Sudjojono, seni lukis Indonesia yang dianggap tidak ada itu patut dilihat dari sisi lain, yaitu sisi kritik yang berjalan selama itu. Maka Sanento menguraikan kejadian dan keberadaan kritik – kalau OE dan SS memaparkan kondisi kekaryaan dan senimannya, Sanento meneliti kritiknya, berbagai anggapan dan penilaian, apresiasi yang terjadi di zaman itu. Dalam skripsinya di ITB, “Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis di Indonesia” (1968) kita bisa lihat bagaimana kondisi kritik seni yang berjalan di indonesia. Di sana, Sanento memaparkan sejumlah kritik yang tengah ada, hingga pelan-pelan terlihat memang ada tradisi kritik yang tidak pas, terjadi “pendangkalan estetika” dan “distorsi fungsi sosial seni” kata Sanento.

Kemudian Sanento menarik kesimpulan, “Ada sesuatu yang salah dengan senilukis kita, Anda dapat menarik kesimpulan. Barangkali demikian. Yang pasti, saya menarik kesimpulan: ada sesuatu yang salah dengan kritik seni lukis di Indonesia” – sebuah pernyataan yang sulit kita lupakan.


Namun “duka seni rupa” ini masih berlanjut. Hingga di 1977an masih marak isu mengenai seni lukis Indonesia tidak ada itu, terlebih setelah GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru yang anggotanya mahasiswa ASRI waktu itu) yang memang terang-terangan menyatakan itu dengan karangan bunga “Turut Berduka Cita bagi seni lukis Indonesia” pada 1974. Namun perkataan “duka cita” dari GSRB itu sudah berbeda visi – tidak lagi berurusan dengan identitas keindonesiaan, melainkan pada klaim modern dan posmodernisme. Namun, setidaknya ada dua klaim GSRB yang tampak salah kaprah memahami generasi sebelumnya. Pertama, bagi GSRB, era Sudjojono itu adalah era modern yang mencari keindonesiaan lewat benda-benda kuno, gaya dekoratif, dan sebagainya.[8]Perihal ini sudah ditegaskan oleh Sudjojono berulang kali, bahwa bukan apa yang digambar, melainkan cara menggambarnya. Bahkan Basoeki Resobowo menandaskan, “Keindonesiaan itu tidak usah ditujukan atau didasarkan kepada yang lama (tinggalan-tinggalan semacam arca-arca, golek, atau wayang beber, dan lain-lain).[9]


Kedua, perihal klaim modernisme dan otonomi seni yang diajukan GSRB. Di sini saya akan kutip apa yang pernah saya tulis dalam “Estetika Seni Rupa Indonesia, Sebuah Jalan Putar”[10]


GSRB yang anggotanya kaum muda kampus ASRI itu ingin bertindak lain. Bagi mereka, seni harus bisa melawan kekuasaan Orde Baru yang tumbuh sejak 1966. Selain menolak “tangan seniman,” mereka juga menolak seni yang dikatakannya “memuat jiwa seniman.” Bagi mereka, seni adalah sebuah aktivisme subversif ketimbang ekspresi pribadi. Seni sarat eksperimen tapi tidak personal. Pendek kata, seni harus tidak personal jika ia ingin punya fungsi luas. Kematian seni lukis pada 1974 ini bisa berarti kematian ekspresi dalam bentuk yang dimaksud GSRB: jiwa, kedalaman, dan tangan seniman.


Di balik yang subversif dan sarat kepentingan, seni modern memuat aspek “otonomi” yang ditolak oleh GSRB. Namun, seni diam-diam mengelak dari “keharusan” menjadi “budak” kepentingan. Sebab ia (seni) punya apa yang Sanento sebut “otonomi,” “Seni lukis mempunyai distansi dari aktualitas: otonomi.”[11]Otonomi sudah demikian adanya, semacam keniscayaan yang melekat dalam seni (modern). Perihal otonomi ini kerap disalahpahami, baik dalam rangka “modernisme” maupun dalam konteks polemik kebudayaan ketika terjadi benturan antara “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat.” Pandangan mengenai otonomi dan seni, dan klaim “ideologi modernisme” yang ditujukan GSRB pada PERSAGI itu, kendati mungkin belum sempat ditulis Sanento, ternyata telah menambah daftar panjang dari kesimpulan yang Sanento tarik empat puluh lima tahun silam itu.


Demikianlah bagaimana kesalahkaprahan seni itu berlangsung. Terjawab sudah setidaknya apa yang membuat seni lukis Indonesia dianggap tidak ada, yaitu perihal karya, juga perihal kritiknya.


Setelah 1975an, setelah peristiwa Desember Hitam dan Pameran Besar Seni Rupa 1975 perlahan kritik dan kritikus mulai tidak marak, kendati masih digunakan, hingga benar-benar berganti menjadi kurator pada 1993 saat Jim Supangkat menjadi kurator Biennale, dan hampir bersamaan dengan itu, istilah “seni rupa kontemporer” mulai diperkenalkan. Maka membicarakan perihal kritik zaman ini seperti sudah tidak ngetren. Dalam seni kontemporer, kritikus tak banyak dikenal. Yang dikenal dan bahkan seakan sudah taken for grantedadalah kurator dengan catatan kuratorialnya.[12]


Lalu masih mungkinkah kritik? Menilik betapa vital keberadaan kritik, apa yang terjadi jika ia sudah benar-benar tidak ada? Kelahiran kritik tak bisa dilepaskan juga dengan kelahiran seni.


2. Kritik, kajian kritis, sebuah tawaran


Di Siasat, 1957, Basoeki Resobowo meluncurkan kritik terhadap lukisan Hendra Gunawan. Ia mengatakan lukisan Hendra tidak dapat mengutarakan karakterisasi kehidupan oleh karena sarat distorsi dalam penggambaran figurnya. Komposisi, warna dan distorsi ini menurut Basoeki membuat Hendra tidak berhasil menyampaikan pesan perjuangan. Namun, di sisi lain, ia tidak melihat bagaimana logika lukisan Hendra itu berjalan. Ia seperti tak melihat adanya kemungkinan dalam berbagai cara eksekusi seni untuk menghadirkan realitas. Bisa jadi, distorsi dan warna itulah yang menjadi kekhasan dan kekuatan Hendra untuk menghadirkan “rakyat” itu. Realisme tidak berarti harus memuat atau berfungsi sosial hingga lukisan harus sebagaimana gambaran dalam poster perjuangan – ada berbagai style yang menghadirkan itu (kenyataan) dengan caranya sendiri-sendiri.


Bahwa kritik kita memang belum berkembang, misalkan terjadi pada pembacaan yang terjadi pada karya-karya Sudjojono. Saya tak hendak membela SS, tapi bahwa kritik terhadap SS yang menempatkan karyanya secara linier, itu membuat wacana seni lukis (realisme) kita mandeg. (ini bisa dijelaskan di fase sharing)


Lalu apakah masih ada harapan buat kritik seni (rupa)? Tampaknya, kritik sejenis tinjauan kritis mengenai karya bisa menjembatani. Dari uraian Sanento, dan berbagai kenyataan tulisan kritik seni, terlihat ada kaitan yang erat antara seni dan kritik melalui estetika yang sekaligus menjadi kelemahan wilayah kritik seni. Maka di titik itulah, jika mungkin terjadi, asumsi saya, wacana seni rupa kita bisa dikembangkan.


Di bawah ini kita akan melihat beberapa salah kaprah perihal kritik yang membuat tidak berkembangnya wacana seni rupa Indonesia.


Kritik hanya berkutat pada apa yang seharusnya (apriori, normatif), bukan apa yang muncul dari karya seni (empiris, fenomenologis). Ini kekeliruan yang fatal bahwa kritikus muncul dengan penuh konsep, dan karya seakan harus patuh – sebagaimana juga seniman yang sudah penuh dengan konsep, kemudian tidak bisa berkarya karena terperangkap konsep di kepalanya itu. Sanento menyebut ini sebagai “kesalahan metodologis.” Bertolaklah dari karya, bukan dari konsep yang mendahuluinya. Lalu kritik seperti apa yang bisa membuka jalan ini? Kritik yang berupa tinjauan hampir selalu berakhir pada intepretasi. Akibatnya, kritik/tinjauan semacam ini mereduksi peristiwa berkesenian itu sendiri. Kritik sekarang cenderung mencari makna, mengevaluasi karya, melakukan deskripsi yang berujung pada intepretasi, penilaian, pemaknaan. Edmund Burke, Panofsky, misalnya yang dengan ketat memiliki metode mengintepretasi karya yang berujung pada makna. Pada karya realis atau klasik itu masih mungkin, tapi pada karya-karya yang lebih beragam, model semacam itu kurang memadai. Ada faktor atau hal-hal yang tereduksi dengan cara itu. Kritik menyebut (karena karya mirip dengan karya siapa yang alirannya apa, atau menyebut aliran karena secara harafiah sama), bukan memperlihatkan. Andaikata memperlihatkan, kritik/tinjauan akan lebih bisa berkembang, sebab kritik karya itu sendiri akan muncul dari karya itu sendiri saat bisa diperlihatkan. Kritik seringkali hanya ‘terjebak’ pada tampakan/kesan langsung. Maka yang muncul hanya semacam penilaian “Lukisan ini kurang pelan-pelan melukisnya,” “Harus melukis realis dengan bentuk yang nyata bisa ditangkap,” “Ini warna tangan merah-biru tidak realistis,” dan sebagainya. Seorang kritikus harus bisa melihat kecenderungan masing-masing karya. Kita ingat kata-kata Sudjojono terhadap kritikus, “Dia tidak boleh mencatat golongan ini lebih jelek dari golongan itu, akan tetapi harus bisa menghargai kebagusan golongan masing-masing.” Bagaimana caranya? Bagaimana cara kesan subyektif berbaur dengan yang obyektif? Di sinilah tampaknya fungsi kerangka pikir yang dipengaruhi oleh paradigma tertentu. Teori atau paradigma membantu kita menjadi lebih obyektif, setidaknya memberi porsi obyektivitas yang lebih besar dibanding kritik yang sebatas pandangan mata.Kritik harus lebih jauh dari hanya sebatas “kritik jurnalistik” semata. Bahkan kini, kritik jurnalistik pun tidak ada. Kritik/sebuah tinjauan seringkali mencampuradukkan antara kepribadian seniman dengan kepribadian karya ... padahal “kepribadian manusia adalah satu hal, dan kepribadian karya adalah hal lain ,,, “: setidaknya, kepribadiannya berpengaruh tapi jangan dilupakan bahwa karya itu punya hidupnya sendiri (lihat skripsi Sanento, hal 47 yang mengatakan bahwa karya itu punya otonomi pada dirinya sendiri itu sebabnya mengapa ia tetap bisa hidup walau senimannya sudah tidak ada (bdk. Deleuze, dalam What is Philosophy, hal. 164 bahwa tugas terberat seniman adalah menjadikan karya itu memiliki hidupnya sendiri, “The artist creates blocs of percepts and affects, but the only law of creation is that the compound must stand up on its own. The artist’s greatest difficulty is to make it stand up on its own.”). Karena itu, yang perlu diperhatikan tidaklah sekadar apa yang dikatakan seniman, melainkan “apa yang dikatakan oleh karya itu sendiri” (Sanento mengutip Iwan Simatupang, “Tentang Kritik Puisi Jang Empiris,” Siasat, 30 Januari 1951 dalam skripsinya, hal. 49).Kritik cenderung melakukan penggolongan karya tertentu masuk dalam aliran tertentu, tanpa penelitian lebih lanjut. Penggolongan karya masuk pada aliran tertentu seringkali hanya sesuai ciri yang tampak mirip. Akibatnya wacana tak bisa dibentuk. Setidaknya, pemahaman atas sejarah sebuah aliran, munculnya, konteksnya, perbedaannya, hingga tahu bahwa kita punya banyak varian itu vital untuk melakukan sebuah kritik seni. (Nashar salah satu pelukis yang menolak adanya penggolongan-penggolongan lukisan ke dalam berbagai aliran ini)Klaim modernisme dan posmodernisme yang seringkali meleset. Klaim ini harus diperiksa kembali.



Stanislaus Yangni


Yang perlu dibaca:


Sanento Yuliman, “Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis di Indonesia” (skripsi ITB 1968)

Maurice Merleau-Ponty, Cezanne Doubt (dalam kumpulan tulisan, bisa diakses di web)

Maurice Merleau-Ponty, Eye and Mind (dalam kumpulan tulisan, bisa diakses di web)

Nashar, Catatan Malam

Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (ed. Hafiz & Ugeng T. Moetidjo), terbitan DKJ 2007



Endnotes:

[1]Yang tercatat sebagai pelukis generasi pertama Indonesia adalah Raden Saleh (1807-1880), yang diberi gelar “Bapak Seni Lukis Modern Indonesia.”

[2]Semacam catatan harian yang ditulis Nashar selalu saat malam. Ia menyebutnya “Catatan Malam.”

§Penjabaran perihal ini lebih detailnya bisa dilihat dalam “Estetika Seni Rupa Indonesia, Sebuah Jalan Putar: Studi Kasus Terhadap Sudjojono, Affandi, dan Nashar” yang saya sampaikan pada Simposium Khatulistiwa, Yogyakarta, 2014.

[3]Perkumpulan pelukis keturunan Belanda di Indonesia, bergabung dengan pelukis pribumi, markasnya di gedung Kuntskring, Jakarta

[4]Lihat “Hari Kemudian Seni Rupa di Indonesia” terjemahan Suradji dari tulisan Hopman di majalah Uitzicht, Januari 1947 dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada(Dewan Kesenian Jakarta, 2007)

[5]Sudjojono, “Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawa,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (Dewan Kesenian Jakarta, 2007).

[6]OE dalam “Kepingan Rekaman, Menyoal Keindonesian dalam Seni Rupa Indonesia,” Hafiz

[7]Lihat juga, Sanento Yuliman, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (ed. Ugeng T. Moetidjo & Hafiz), 2007. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

[8]Lihat tulisan FX. Harsono, “Desember Hitam, GSRB, dan Kontemporer,” dalam gerakgeraksenirupa.wordpress.com (10 Nov 2014)

[9]Lihat Sanento, “Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia,” dalam Seni Lukis Indonesia Tidak Ada, hal. 23.

[10]Makalah untuk Simposium Khatulistiwa, Yogyakarta 2014.

[11]Bagi Sanento, seni punya nilai lain, nilai artisik yang tidak bisa disamakan dengan nilai politik, moral, dan sebagainya. Lihat Skripsi Sanento hal. 134.

“Otonomi senilukis berarti djuga bahwa senilukis, sebagai suatu bidang kegiatan atau pengalaman yang chas, memiliki kategori-kategori dan penilaian sendiri dan bukan merupakan bidang jang adanja ditetapkan atau beralasan pada perannja sebagai alat dari bidang kegiatan lain. Meskipun, umpamanja, senilukis berpengaruh pada perbaikan moral atau pada kesejahteraan masjarakat, namun kategori-kategori dan nilai-nilai moral atau politik bukanlah kategori2 dan nilai2 artistik dan tak dapat menggantikannja.”

[12]Tidakkah kuratorial yang selama ini ada juga mampu menghidupkan karya? Menurut saya tidak. Sebab, berbeda dengan kritik, kuratorial tidak tumbuh dari karya, melainkan pasar (ini yang terjadi di Indonesia). Maka, kalau mau jujur, kuratorial tak banyak sangkut-pautnya dengan tanggungjawab menghidupkan wacana seni rupa. Kemunculannya memang (kebetulan atau tidak) bersamaan dengan wacana seni kontemporer masuk di Indonesia. Ia tumbuh dan berkembang dalam logika pasar.

bottom of page