top of page
  • Writer's pictureStanislaus Yangni

Perjumpaan Seni dan Filsafat

Unpublished draft, unfinished notes




Dalam What is Philosophy(1991), Gilles Deleuze (1925-1995) mengatakan bahwa filsafat bukanlah kegiatan kontemplatif dan reflektif. Seorang seniman tak perlu menunggu seorang filsuf sebelum ia merefleksikan karyanya. Refleksi terhadap karya itu adalah miliknya sendiri, terjadi dengan sendirinya pada saat ia berproses mencipta. Filsafat, bagi Deleuze, adalah proses menemukan, membentuk, mencipta konsep. Berfilsafat adalah menemukan dan mencipta konsep dari yang nonfilosofis, yang empiris, inderawi, hal-hal yang ada di sekitar kita.


Pandangan ini berbeda dengan, misalnya Plato (427SM-347SM), dan Immanuel Kant (1724-1804) yang menganggap filsafat sebagai “teropong’ dari segala hal, dan merefleksi segala sesuatu yang tampak dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran sang filsuf. Plato, misalnya, menggunakan Idea sebagai “model universal, tunggal, Yang Ideal” sebagai ukuran, standar bagi segala hal yang tampak. Dalam pandangan Plato, realitas hanya dapat dijelaskan melalui Ide Ideal itu. Pandangan ini tak jauh berbeda dengan Kant yang menganggap bahwa kita hanya dapat mengetahui sesuatu di luar kita karena dalam pikiran kita sudah ada “kategori apriori” yang terhubung dengan pengalaman inderawi (hal-hal empiris di luar kita).


Contohnya, sebuah meja dapat kita ketahui sebagai meja karena dalam pikiran kita sudah ada ‘unsur-unsur apriori akal budi’ yang otomatis membawa kita mampu berpikir bahwa itu adalah sebuah meja (semacam hal-hal yang memungkinkan kita dapat mengetahui bahwa sesuatu itu adalah meja). Pendek kata, dalam pandangan Plato dan Kant, suatu gejala atau realitas di sekitar kita dapat dikenali karena berhasil dicocokkan dengan Ide Ideal, atau konsep universal dan tunggal yang sudah ada dalam pikiran manusia.


Hasilnya, realitas empiris tereduksi karena hanya dipahami berdasar “kotak konsep” sang filsuf itu saja. Implikasi lain adalah mandegnya daya kreativitas manusia karena filsafat sebagai salah satu kekuatan pikiran manusia untuk mencipta konsep, sudah tak difungsikan, atau tak berfungsi. Maka, adanya anggapan umum bahwa fungsi filsafat adalah memberi pertimbangan etis terhadap sesuatu, sudah tak memadai kalau kita menggunakan paradigma Deleuze karena hal demikian dianggap ‘menamatkan’ proses penciptaan.

Deleuze mengganti pola pikir itu dengan “thought without image,”berpikir tanpa gambaran (sebelumnya) – dalam arti berpikir sebagai kegiatan mencipta dengan melibatkan proses “menyerap” sesuatu yang dapat dirasa, sesuatu yang inderawi, pengalaman empiris. Berpikir bukan mengaplikasikan, atau mencocokkan pengalaman (recognition) dengan “Idea, gambaran, atau Kategori” yang sifatnya apriori.


Berfilsafat lewat Karya Seni


Karena itu, Deleuze mengajukan sebuah cara berfilsafat yang baru, yaitu berfilsafat dengan menggunakan karya seni, misalnya musik, film, literatur sastra, dan lukisan. Maka, muncullah buku-buku filsafatnya yang pemikirannya berasal dari seni, antara lain, Cinema I: The Movement-Image(1983), Cinema II: The Time-Image(1985) dari beberapa film, salah satunya yang paling banyak mempengaruhi Deleuze adalah Jean-Luc Godard, Proust and Signs(1964), dari novel Marcel Proust, dan Francis Bacon: The Logic of Sensation(1981). Yang terakhir ini Deleuze berfilsafat lewat lukisan Francis Bacon (1909-1992), pelukis otodidak yang sering digolongkan dalam abstrak figuratif dan abstrak ekspresionisme.


Bukan tanpa pergulatan seorang filsuf seperti Deleuze melakukan aktivitas berfilsafat lewat karya seni. Ia pun harus bergulat dengan pikirannya sendiri yang tentu saja tidak seperti kertas putih kosong. Pergulatan ini, meminjam istilah John Rajchman yang juga menulis tentang Deleuze, “pergulatan intrafilosofis.” Pendek kata, Deleuze pun mengalami dilema ketika akan melahirkan konsep (berfilsafat, membentuk konsep baru, sebuah “konsep filosofis”[1]). Ia harus sangat berhati-hati dan berkali-kali mengadakan otokritik karena bukan tak mungkin bahwa ia, alih-alih mencipta konsep dari karya seni, malah memasukkan gejala yang ada dalam karya seni itu ke dalam konsep lain yang sudah bercokol dalam pikirannya. Di sini, ia juga berhadapan dengan masalah melepaskan diri dari “gambaran pikiran”yang sifatnya dogmatis dan menghambat penciptaan konsep barunya.


Logic of Sensation bisa dikatakan contoh bentuk perjumpaan seni dan filsafat. Dalam Logic of Sensation, kita seakan menemukan semacam ‘jalan keluar’ Deleuze, yaitu lukisan Bacon yang bisa membantunya keluar dari “gambaran dogmatis yang ada dalam pikiran” (dogmatic image of thought) yang menghambat setiap bentuk penciptaan. Dengan aktivitas melukis Bacon, Deleuze menemukan “kegelisahan” Bacon yang juga kegelisahannya, yaitu keluar dari segala ‘gambaran’ yang mendikte kepala dan menghambat kreatifitas. Dari lukisan Bacon pula, Deleuze seakan ‘berinteraksi’ dan menemukan invisible force, daya hidup (elan vital), kekuatan, puissance vitale(semacam hasrat Dyonisian dalam Nietzsche) yang memampukan Bacon melompat, mendobrak, dan mencipta secara berbeda.

Karena yang dituju Deleuze adalah “pelampauan” gambaran dogmatis dari pikiran (disebut juga cliché, ready-made image), maka cara ia bertanya pun berubah, tak lagi mengenai makna yang cenderung bersifat intepretasi, melainkan mengenai proses kreatif, kemenjadian, dan eksperimentasi seniman dalam karya seni. Karena itu, Deleuze cenderung membentuk konsep filsafatnya dari pengalaman kreatif Bacon dalam melukis, bukan isi lukisannya, atau latar belakang kehidupan Bacon.


Maka, dalam Logic of Sensation, tak kita temukan pemaknaan atau ‘kisah’ dalam lukisan Bacon. Tak juga kita temukan mengenai biografi Bacon sebagai latar belakang bagi lukisannya. Yang kita temukan adalah semacam resonansi tak henti, tarik menarik antara filsafat Deleuze dan lukisan Bacon. Pendek kata, di sana Deleuze harus merespon gejala yang ada dalam proses berkarya Bacon, dan elemen-elemen dalam lukisannya. Ia harus mampu menangkap semacam “sensible aggregates,” sejumlah, atau sekumpulan sensasi (melalui garis, warna, bidang, komposisi, dan sebagainya) yang ada dalam lukisan Bacon, dan membentuk konsep secara filosofis darinya. Maka, melalui tiga elemen pokok dalam lukisan Deleuze, yaitu Figur, Kontur dan Struktur, Deleuze menemukan logika lain yang nonrasional, logika khas karya seni, yaitu logika sensasi.


Salah satu contoh pembentukan konsep filsafat Deleuze lewat proses kreatif Bacon adalah “diagram.” Diagram, bagi bacon, adalah “graph,” semacam kegiatan memulai melukis, preparatory work(semacam sketsa, namun Bacon tak menggunakan sketsa), berupa pembuatan garis, jejak-jejak tak menentu, merusak, mengelap, membersihkan, kemudian melempar cat pada jarak dan sudut tertentu, mengoleskan cat dengan kuas besar, atau spon, atau potongan kain, tak beraturan.


Selanjutnya, diagram, yang bagi Bacon tadi adalah “seperangkat tanda-tanda, karakteristik, warna, garis, dan zona,” menjadi konsep filsafat (konsep dari lukisan yang hanya dapat dibentuk secara filosofis) oleh Deleuze. Diagram sebagai konsep filsafat bisa dipahami sebagai “pertempuran” antara pelukis dengan gambaran-gambaran pikirannya (cliché), ‘perang’ melawan hal-hal yang mendikte pikiran dan perasaan si pelukis. Bacon, dengan preparatory work itu, berusaha membersihkan “gambaran dogmatis,” membebaskan diri untuk bisa mencipta. Dari diagram lah sang pelukis bergulat untuk mencipta, melahirkan karya. Maka, bagi Deleuze, “Diagram adalah khaos, sebuah katastrope, namun sekaligus benih dari lahirnya ritme.”


Remainder Filsafat


Kita sudah melihat bagaimana seni berelasi dengan filsafat dalam “diagram” tadi. Agaknya, lukisan Bacon lah remainder bagi pemikiran filsafat Deleuze. Lalu, selanjutnya, bentuk relasi seperti apa yang terjadi di antara mereka? Peran penting apa yang dibawa seni untuk filsafat?


Menilik bagaimana mereka berinteraksi dalam Logic of Sensation, kita dapat mengatakan bahwa seni berperan penting bagi filsafat. Agaknya, tanpa seni, filsafat mandeg, dan sebaliknya, tanpa filsafat, seni …


Nampaknya, karya seni berfungsi ‘menggelitik,’ ‘mengganggu’, ‘menampar,’ ‘mengingatkan’ (menjadi “alarm,” remainder) bagi para filsuf agar mereka pun berani keluar dari pemikiran dogmatisnya untuk bisa berfilsafat. Namun, seni hanya dapat menjadi ‘remainder’ bagi filsafat hanya jika filsafat terbuka terhadap yang nonfilosofis (pengalaman empiris) itu. Berfilsafat melalui yang nonfilosofis, yang inderawi, dalam hal ini, seni, agaknya bisa menolong kita untuk melampaui gambaran pemikiran yang menguasai cara berpikir kita.

Di sinilah, agaknya, seni bisa dikatakan sebagai “sparing partner” filsafat. Bentuk hubungan mereka (seni dan filsafat) mungkin seperti Achilles dengan Patroclus, Alexander dengan Hephastition, atau Krishna dan Arjuna. Keduanya bisa menjadi sahabat, belahan jiwa, musuh, saingan, kembaran, yang saling “meninju,” mengingatkan, mencela, mengkritik, mengejek, memberi celah,dan sebaginya. Seni menyadarkan filsafat, juga sebaliknya, dan berkali-kali mengingatkan bahwa ada hal yang perlu dihancurkan demi proses penciptaan, yaitu gambaran dogmatis dalam pikiran.


Filsafat-seni. Interaksi antara filsafat dan seni harus menciptakan perbedaan-perbedaan dan deviasi, penyimpangan-penyimpangan, kekecualian-kekecualian, daripada sebuah kesepakatan atau suatu common sense. Filsafat dan seni saling “berdialog,” dalam konsep baru yang diciptakan filsafat dan pengalaman baru yang diciptakan seni. “Penciptaan sinema menantang para filsuf untuk berpikir kembali relasi antara waktu dan gambar; tapi konsep-konsep baru dalam filsafat juga dapat mendorong para aktor dalam menciptakan kembali batas-batas pengalaman.



Stanislaus Yangni


[1]Konsep filosofis berbeda dengan konsep dalam pemahaman common sense. Konsep filosofis memiliki kemampuan membedakan diri dari konsep lain yang sejenis, dan kata lain (misal konsep “subyek” Lacan berbeda dengan konsep “subyek” dari Descartes, dan berbeda pula dengan kata “subyek” yang dipahami pada umumnya (Lihat dalam Claire Colebrook. 2002. Gilles Deleuze. London & New York: Routledge, hal. 19-20).

bottom of page