top of page
  • Writer's pictureStanislaus Yangni

Jalan Lebur

Curatorial Essays and Critics for Pupuk DP Solo Exhibition, Half Light, 2017

















a. permulaan


Lelaki dan Patung, 2002. Lukisan itu terpasang di dinding pojok ruang studio Pupuk DP. Lukisan dengan kesan umum suram dan ganjil itu terlihat “memuat” tiga sosok dengan percakapan rahasia. Kendati tampak definitif, namun kesemua figur itu terkesan ganjil, baik pada dirinya sendiri, maupun pada relasi satu dengan lainnya.

Begitulah, yang hadir di hadapan saya selanjutnya adalah sebuah drama satu babak dengan satu pemain. Bukan karena di sana hanya ada satu figur manusia, tapi karena ketiganya memuat satu orang. Sang Patung (berkepala laki-laki setengah baya, bertubuh perempuan), Sang Manusia, yang terkesan laki-laki sekaligus perempuan, dan sebuah torso perempuan yang saling melekat pada manusia itu - ketiganya, kalau boleh saya katakan, adalah Pupuk DP (sebagai saya, patung, dan lelaki itu). Ketiganya adalah “saya-saya” (Pupuk) yang lain.

Berlatar belakang di sebuah tempat yang tampak seperti sedang senja, atau malam hari, subuh, mungkin juga maghrib, atau mendung, di sana hadir tubuh manusia yang secara umum anatomis tampak sebagai laki-laki, namun posisi dan kesan figurnya tampak feminin, sedang melekat dengan torso perempuan (keduanya seperti ada pada satu ruang yang sedikit ada cahaya). Dengan jarak yang cukup jauh, dan ruang yang lebih gelap, ada patung “transgender” di atas pustek. Jadi ada tiga figur di sana: manusia yang agak “kabur” identitas seksualnya, torso dengan identitas jelas tapi terpotong, tak lengkap (perempuan tanpa kepala tanpa kaki), dan patung transgender setengah badan ke atas (dengan tipikal wajah serupa manusia itu). Sebuah percakapan rahasia antara ketiganya berlangsung dalam diam: Manusia yang tubuhnya menempel pada torso itu seperti menoleh, tanpa memandang langsung, setengah mengabaikan keberadaan si patung, tapi juga seperti mengajukan berbagai pertanyaan sembunyi-sembunyi: benarkah saya laki-laki, benarkah apa yang saya sentuh ini perempuan? atau bahkan, siapa saya sebenarnya yang sedang melekat dengan torso ini? atau lebih jauh, sesungguhnya, nyata atau tidakkah saya? Torso itu seperti “bayangan” dari manusia (gambaran yang “lebih nyata” dibanding si patung), sedangkan patung di luar sana seperti “saksi mata” yang antara ada dan tiada baginya, tapi terasa dibutuhkan, seperti pihak ketiga yang “memecah” kesatuan antara manusia dengan imagemapan torso itu. Ia yang agak lebih jauh itu, atau dari “ruang” lain itu seperti diinginkan sekaligus dicemaskan. Manusia itu seakan ‘meminta’ “jaminan” jawaban dari si patung, sekaligus “gantungan” atau “sandaran” pada si torso. Dua “sandaran” yang berbeda, dua “permohonan” yang berlainan: sandaran fisik yang ia dapat dari si torso, dan “sandaran” lain berupa makna, pernyataan, semacam pengakuan dari si Patung di luar sana. Manusia itu seperti butuh sosok lain di kejauhan yang “mengamini” memastikan, menjamin, dan memberi dia daya untuk mengucapkan siapa dirinya. Tapi ada persoalan lain, yaitu perihal mana yang nyata, dan mana yang bayangan. Mana lebih nyata, atau bisa memberi kepastian, yang bisa disentuh atau yang bisa mengatakan siapa saya? Atau jangan-jangan tidak ada yang nyata sebab semuanya hanya bayangan dari Pupuk. Ketiganya seperti ada dalam penantian, menunggu jawaban. Dan akhirnya samar-samar kelihatan dalam drama satu babak itu: bahwa Pupuk tidak punya orang lain.


b.potret


Tak hanya percakapan rahasia, Lelaki dan Patungitu meninggalkan beberapa kesan membekas yang agaknya bisa menjadi celah memasuki berbagai fenomen dalam lukisan lain. Pertama, tatapan mata manusia itu. Jenis tatapan mata demikian juga yang biasa hadir di hampir seluruh gambar mata di lukisan pupuk. Mata yang seperti masuk ke dalam, terkesan introvert, terancam tapi juga “pasrah,” - mata yang tak menyimpan kegemasan atau agresifitas ke luar, mata yang tampak “dipaku” ke dalam dunia batinnya - tatapan yang seakan “gagal” memasuki dunia luar. Mata-mata demikian juga muncul baik di lukisan maupun sketsa-sketsa Pupuk, dalam konteks, atau narasi apapaun. Ia seperti melamun sendiri, meskipun di situ figurnya digambarkan sedang menikah atau bahkan bercinta! Mereka seperti tak berinteraksi satu sama lain, juga dengan pengunjungnya (lihat misalnya karya etalase pernikahan, dan Bercinta, 2000). Mata yang tak mengizinkan, atau bahkan ketakutan jika ada yang lain yang memasuki zona dalamnya. Kendati kelihatannya sedang memandang, tapi ia seperti tak sedang memandang kita, atau apapun di hadapannya.

Kedua, torso sebagai ideal tubuh perempuan. Meskipun tidak selalu torso, dalam lukisan Pupuk selalu hadir figur perempuan dalam tampilan “ideal”nya anatomi perempuan (prototipe), beberapa di antaranya Sebatas Imajinasi(2000), Aborsi (1999), Fantasi Etalase Merah(2001), First Time(2004), Happy Rape (1997), Wanita dan Banteng(cat air 1999), Potret Diri Dalam Jaring(sketsa) dan di berbagai karya lain. Di karya-karya itu seakan seluruh tubuh perempuan begitu bentuknya, payudara, perut dan seluruh bagiannya digambarkan sama. Karena itu, figur perempuan dalam lukisan Pupuk bukanlah perempuan dalam dunia nyata (dalam konteks inilah saya memandang “imajiner”nya Pupuk, sedikit berbeda dari yang dipahami Pupuk yang menurut pengakuannya “Hanya berani menyentuh perempuan dalam imajinasi, tidak dalam kenyataan”). Meskipun sepertinya seluruh sketsa dan lukisan Pupuk kalau dilihat sekilas sarat muatan seksual, tapi lebih jauh, ia jauh dari kesan erotis. Hanya serupa saksi, beku dalam gambar. Karenanya jenis “relasi erotik” Pupuk dengan bayangannya - Pupuk dengan figur perempuan itu seperti tak memuat erotik seksual yang menubuh, melainkan lebih pada erotik imaji; imajinasi tentang yang erotis. Perempuan itu seperti tidak hidup dalam kenyataan rekaman tubuh Pupuk, melainkan dalam bayangannya - seperti berhenti sebagai image.

Ketiga, perihal figur manusia dan patung. Pertanyaan menarik lain yang muncul adalah bagaimana Pupuk menggambarkan sosok laki-laki, atau dirinya sendiri? Figur laki-laki (manusia) dan patung dalam Lelaki dan Patungitu seperti mengalami feminisasi - cenderung digambarkan dengan gestur, ekspresi, atau pose serupa perempuan. Kesan demikian juga muncul di Pucat Pasi(2017), dan beberapa sketsa, salah satunya Imajinasi Seksual 2012, karya charcoaldi mana sosok laki-laki yang berwajah agak feminin, dengan rambut sebagian menutupi setengah wajah dan tangan mengatup seperti sedang berdoa, atau ungkapan gelisah. Figur laki-laki itu tergambar besar di paling depan bidang gambar, sementara di belakangnya ada beberapa figur perempuan lebih kecil menari-nari yang seperti sedang menjadi bayangannya. Dalam First Time, karya pastel 2004, tergambar figur laki-laki, berotot, namun terkesan gestur feminin, digambarkan memenuhi setengah bidang gambar, setengah melirik perempuan telanjang yang tergeletak di atas ranjang di belakangnya. Laki-laki imenutupi alat kelaminnya, terkesan sedang shock, malu, seperti setengah tak percaya bahwa ia laki-laki. Kadangkala Pupuk juga melukis potret dirinya dalam anatomi perempuan, seperti sedang “menjadi-perempuan,” misalnya sketsa Potret Diri Dengan Duyung (2005).

Selain kesan feminisasi, dan “menjadi-perempuan,” identifikasi Pupuk terhadap perempuan digambarkan juga dalam bentuk pengalaman sebagai korban, atau menempati posisi submisif yang teraniaya. Ia seperti mengidentifikasi sebagai sosok perempuan (sekaligus laki-laki yang sedang jadi pelaku), misalnya pada Wanita dan Banteng(1999), Imajinasi Seksual (2003), yang kadangkala memuat ekspresi sadomasokis juga. Ada semacam penghadiran perempuan yang sekaligus laki-laki: laki-laki yang ada dalam persepsi sebagai yang mengalami “menjadi-perempuan-sebagai-korban.” Pendek kata, penghadiran perempuan lewat, atau dalam laki-laki yang “menjadi-perempuan-dalam-konteks-korban.” Ada semacam, mungkin bisa diistilahkan di sini, “kemegahan yang submisif:” Pupuk menginternalisasi ayahnya, ia mau tidak mau harus “menjadi” sosok sang ayah, ingin bisa berada dalam posisi superior, namun di dalamnya ia sudah lebih dulu menginternalisasi ‘struktur’ submisif-interior korban (dengan sang ayah sebagai pelakunya).

Selain mengalami transformasi berbagai bentuk, figur laki-laki dalam lukisan Pupuk kadangkala tidak ada, atau kerap diganti dengan figur lain yang punya kesan menggganggu dan menyeramkan, misalnya banteng, kuda, babi, anjing, setan, monster, atau hal lain yang kaitannya dengan keliaran (nafsu dan pikiran, imajinasi). Figur-figur itu digunakan pupuk sebagai metafor dari nafsu, kerakusan, seperti dalam seri Study Seven and Sacrifice(2011-2013), Sketsa Last Man Standing(2014). Bahkan, salah satu sketsanya dalam seriImajinasi Seksual, 2012, Pupuk mengatakan, “Hidup itu bagaimana mengendalikan nafsu.” Hewan-hewan tersebut seakan “digunakan” Pupuk secara bergantian untuk mewakili bentuk dari keliaran imajinasi laki-laki, dan bentuk nafsu seksual, ketamakan, kemarahan, kerakusan, dan sebagainya. Hal lain yang agaknya menarik diamati adalah kepastian beradanya figur laki-laki (yang sebetulnya ingin dihadirkan dalam lukisan Pupuk), agaknya hanya bisa didapat dari kemapanan bentuk figur perempuan dalam lukisannya.


Dalam Sebatas Imajinasi (2000), ada tiga figur transparan, lelaki, perempuan, dan burung. Bayangan dari tangan laki-laki itu seperti merogoh ke dada perempuan, dan ada burung yang sedang bertengger dan mematuk vaginanya. Agaknya di sana Pupuk ingin memperlihatkan nafsu yang dianggapnya membabi buta dimainkan secara “agung,” “indah,” “halus,” dan mungkin juga sembunyi-sembunyi, atau juga semacam isyarat yang malu-malu tapi menyimpan agresi dari laki-laki yang muncul di kegelapan pada perempuan yang tampak nyata. Kehadiran sosok laki-lakinya diperkuat oleh mahkota yang tujuannya mungkin untuk “mengadakan” dirinya, menandakan dirinya lebih superior, atau lebih “eksis.” Tapi, agaknya, tanpa figur perempuan di depannya, sosok serupa raja iblis itu tiada. Maka, menarik melihat figur laki-laki dalam lukisan Pupuk juga misalnya dalam Sebatas Imajinasidan First Time- meskipun yang pertama tampak lebih ‘garang,’ - mereka, para laki-laki itu, seakan-akan hanya menjadi bayangan Pupuk yang antara cemas, takut, dan yang ingin menjadi-laki-laki.


Kesan submisif dan kesan menjadi korban tergambar juga dalam potret diri Pupuk sebagai ikan yang digigit dan ditahan di mulut serigala dalam The Wolf(2017). Tapi apakah serigalanya itu benar-benar pihak lain? Jangan-jangan serigalanya juga Pupuk yang sedang menjadi “korban” dari dirinya sendiri, dari kecemasan dan ketakutannya memakan dirinya sendiri. Hampir serupa dengan itu, ada juga lukisan besar figur anak ayam di luar pagar, sendiri dan kehilangan induk, kebingungan karena tahu kemana harus pulang dalam Anak Ayam(2012). Kisah yang dilatari pengalaman Pupuk ini serupa dengan kemunculan nuansa ketidakberdayaan dalam Pucat Pasi, yang seperti hanya bisa menatap dirinya yang ringkih. Ia manis, misterius, dan tampak lemah.


Gambaran ketidakberdayaan, inferioritas juga terdapat pada Vampir Darah(2010) - Pupuk mengidentifikasikan diri sebagai drakula yang ringkih, yang tubuhnya serba peka, tidak bisa kena sinar matahari, dan hanya bisa bertahan hidup dengan minum darah. Drakula itu digambarkan begitu dandy, bersolek — solek ketidakberdayaan, manis yang pilu. Drakula yang kita tahu sebagai sosok yang megah namun mengerikan, namun di sini berbeda. Tidakkah ia yang tampak cakepitu sebenarnya seperti sedang menutupi kelemahan eksistensialnya, seperti seonggok manusia yang dipenuhi dengan usaha bertahan hidup.

Tak hanya lewat anak ayam, drakula, dan ikan yang tergeletak tak berdaya, potret diri Pupuk dalam The Doll(2017), warna warni es krim dengan murung ala wajah Pupuk dengan sampiran payung kekecilan; ia seperti Pupuk (tua) yang “menganak-anak,” tidak dalam arti kekanak-kanakan, melainkan menemukan bagaimana anak-anak itu. Di sana, Pupuk seakan mencari Figur “menjadi” kanak-kanak; Pupuk yang sedang jadi anak-anak di masa tua. Seperti mencoba mengada kembali lewat kesadaran yang lain, memasuki kesadaran anak-anak.Di samping itu, Pupuk yang berupa wajah pun banyak. Mereka tampak seperti usaha mencari, mendefinisikan dirinya. Mereka seperti mau berkisah tentang seseorang yang tenggelam terlalu jauh ke dalam dirinya sendiri tanpa tahu bagaimana mengatakan siapa dirinya sebenarnya. Dia butuh pengakuan dalam arti bukan dalam konteks pengakuan umum seperti pada umumnya, melainkan lebih mendasar, sebuah kepastian eksistensial.


c. perjalanan


Sebenarnya, melihat obyek dan subyek dalam lukisan Pupuk banyak yang berulang. Kendati lukisannya terlihat memuat berbagai eksperimen artistik, namun tak banyak yang berubah dalam hal obyek, narasi, maupun berbagai pola bentuk, gestur, pose, dan terutama garis melingkar-lingkar ala Pupuk. Namun, ada satu yang menarik dari perulangan itu, yaitu bahwa Pupuk tak bisa berhenti.


Tidak bisa berhenti dari apa? Dari mengublek-ublek alias muter-muterdalam dunia dan bayangannya sendiri. Namun, ketidakbisaberhentian Pupuk ini menarik sebab ia bisa menjadi perangkap sekaligus jalan keluar mengatasi dirinya. Dengan cara apa? Figur. Agaknya, Pupuk butuh Figur lain yang menariknya “keluar.” Figur, dalam konteks ini, tak harus sesuatu yang definitif. Entah disadari atau tidak, lukisan-lukisannya, terutama yang memiliki ‘obyek’ luar seperti pemandangan, misalnya, telah mengundang kita untuk membicarakan perihal Figur itu. Di banyak lukisan pemandangan Pupuk yang diakuinya dikerjakan tanpa beban, setengah rekreasi, dan tak menuntut makna, terlihat bahwa ia menyimpan semacam “jalan keluar,” yaitu meleburkan kecemasannya di luar sana hingga menemukan “bentuk” lagi (pemandangan versi lain) - seperti ia yang tak segan memasuki kebingungannya terus hingga jauh ke dalam (dalam eksperimen lukisan abstraknya), dan kemudian di dalam yang khaotik itu, perlahan-lahan ditemukan lah sebuah imaji, samar tapi makin pasti baginya. “Dalam kebingungan itu biasanya aku menemukan …” ungkapnya. Ia menemukan semacam Figur lain untuk lukisannya, kendati itu bentuknya tak definitif seperti dalam lukisan abstrak, maupun figuratif, seperti ketika ia menemukan dirinya lagi lewat kesadaran sebagai anak-anak di The Doll. Persoalan Figur ini bisa dilihat juga dalam dua lukisan lain, Striptease (2005) dan Gereja di Vienna(2017).


Stripteasemenggambarkan sosok perempuan agak berbeda dari pada umumnya di lukisan-lukisan Pupuk. Imajinasi Kees Van Dongen dalam striptease itu tampaknya membawa pengalaman lain Pupuk terhadap sosok perempuan. Perempuan di sana bukan perempuan dalam imajinasinya yang bisa “dimainkan,” atau dimasukkan dalam peran apa saja, melainkan asing: Ia digambarkan sebagai sosok yang megah, mengancam, membuat gentar, bahkan menakutkan, tak tersentuh. Jubah hitam, cakar di jari-jarinya, tangan berkacak pinggang, bibir berlipstik biru, dan kepala menengadah merupakan gambaran yang dilekatkan Pupuk terhadap wanita asing itu, ditambah abu-abu kehitaman yang memperkuat kesan ancaman dari sesuatu yang misterius. Perempuan tiba-tiba menjadi figur yang ditakuti sekaligus dihasrati; seperti mencoba menciptakan jarak, memisah lelaki (penonton). Ia sebagai yang ditonton, dalam kasus striptease itu, seperti lebih berkuasa dibanding dengan penontonnya. Figur perempuan itu seperti “memutus” Pupuk dengan sosok perempuan yang selama ini ada dalam dirinya. Kisah penari striptis yang dibalut dengan pengalaman dipalak di Perancis ini membuat Pupuk shock, dan mungkin ancaman nyata dari luar itu membuka kesadarannya, bahwa yang namanya ideal itu punya jarak, tak selalu hidup dalam imajinasinya. Dan ia, mau tidak mau, menyadari keberadaannya lewat yang berjarak itu.

Di beberapa lukisan pemandangannya, tampak Pupuk mencari semacam kemegahan yang menggetarkan, seperti pada berbagai bangunan megah yang telah jadi prototipe sejarah, antara lain Eiffel, Notre Dame, Katedral Milano, kadangkala cityscapedari kota-kota besar. Bangunan gereja dan awan berarak bak alien yang bergerak mencari mangsa dalam Gereja di Vienna (2017), misalnya, seperti menarik Pupuk untuk keluar-masuk: tak hanya masuk ke dunia dalam, tapi dunia dalam Pupuk yang ditarik keluar. Pemandangan di luar sana, apapun bentuknya, setidaknya, mampu membuatnya “melebur” dengan yang lain yang asing, memasuki pengalaman gentar secara nyata. Bangunan tinggi di luar sana dan rasa asing yang melandanya tampaknya menjadi ‘jalan’ bagi hadirnya berbagai eksperimen untuk memunculkan “kegamangan” atau kecemasan ala Pupuk; sebagai eksperimen, baik artistik maupun tematik untuk menemukan Figur lain yang mampu mengobyektifikasi kecemasannya. Maka, kemegahan yang sarat sejarah itu tak sekadar bisa memberi kesan makna (meaning) yang sifatnya afirmatif ke dalam dirinya, juga (semestinya) membuatnya terbalik: membagi realitas dirinya ke luar untuk menjumpai yang lain yang belum tentu bermakna bagi dirinya. Dengan begitu ia membuka zona antara, peluang yang berisi kegamangan baru yang didapat di luar sana. Dan mungkin, sudah saatnya ini merupakan peralihan - kalau bisa dikatakan perjalanan atau penjelajahan ke luar diri untuk menemukan kegamangan-kegamangan, atau kebingungan-kebingungan lain yang juga bisa membuatnya tak bisa berhenti, atau mungkin menemukan jeda, semacam jarak untuk menjenguk, mengunjungi, niliki ketidakbisaberhentiannya.


Stanislaus Yangni


bottom of page