top of page
  • Writer's pictureStanislaus Yangni

Imago Hominis, Sebuah Lubang

Published at Lubes, a writing compilation about Agung Kurniawan, 2014. See http://kotasis.com/?portfolio=lubes (this Indonesian version here is more correct than the English version published).



1/potret



Melihat karya drawing Agung, yang tertinggal adalah adegan-adegan bisu. Figur-figur dalam gambarnya tampak tak bergerak. Mereka beku, dingin, tanpa ekspresi, bak mayat hidup. Tak hanya itu, figurnya pun tampak menyimpan misteri. Ia tersimpan di dalam mata yang diam, suram, pose yang ganjil, dan kadang terpotong-potong. Tapi kehadirannya menarik rasa penasaran kita.


Pieta yang digambar Agung pun tampak tak seperti pieta yang menyimpan duka, kesakitan, kesedihan dan kerinduan luar biasa. Sosok Maria dan Yesus sama-sama tampak datar, baik wajah, tatapan mata, maupun bentukan tubuh. Tapi pieta, dalam seni lukis, terutama, memang telah lama menjadi bahan parodi, seperti juga Monalisa. Jika pieta masih digambarkan ekspresif, mungkin terlihat tak lazim di zaman ini.


Tapi parodi rupanya juga membuat hal-hal yang tanpa ekspresi mulai punya kedudukan baru: gambar dilihat sebagai sesuatu yang sarat pesan lewat parodi, dan ekspresi tak banyak diperhitungkan. Anatomi jadi tak begitu penting, hingga para seniman tak lagi tergila-gila menggambar hal-hal yang hidup di depan mata, seperti yang dilakukan Da Vinci, Artemisia, Picasso, atau Van Gogh, misalnya. Akibatnya, garis dan warna mereka terlahir dari apa yang ada dalam pikiran, bukan pada apa yang hidup di luar sana.


Ketebalan yang sama dari garis Agung membingkai figur menambah kesan beku, flat, paten. Pendek kata, garis itu terkesan menguasai bentuk, hingga volumetak muncul, dan chiaroscuro tak menolong. Warna pada drawingnya cenderung monokrom, dengan kesan lain yang dimunculkan oleh media charcoal yang memang tampak dull, “suram.”

Itulah Agung ‘leak’ Kurniawan, yang sempat mengatakan bahwa dirinya bersetia pada garis, dan drawing telah dibaptisnya menjadi “isteri.”


Namun pada suatu kali, ia mencoba untuk tidak dengan sengaja bercerita seperti yang dilakukannya dulu – di era 1990, saat gambarnya sarat pesan sosial politik, saat ia masih terlibat berbagai jenis aktivisme sosial. Pada gambarnya, setiap figur dan adegannya hampir selalu memuat pesan – sebuah kritik atas kondisi politik yang telah demikian merugikan rakyat banyak masa itu. Ini terjadi sampai era reformasi 1998 dan setelahnya. Kemudian, ketika zaman sudah berkata bahwa tidak paslagi idiom topi tentara, sosok gemuk berjas berdasi, senapan, pisau, tank, kapal perang, dan sebagainya - yang notabene sering digunakan sebagai idiom kekuasaan dan kekerasan rezim Orde Baru, Agung sadar bahwa “menggambar” kritik sosial politik dengan idiom tersebut telah marak dan dengan cepat menjadi barang komoditi. Ia jengah, dan beralih. Seperti retreat, ia menarik diri, mencoba sebuah cara lain untuk menggambar.


Itu terjadi sekitar tahun 2000.


Lalu pada karyanya terlihat nuansa yang berbeda, meskipun tak jauh berbeda dari drawingsebelumnya: figur-figur selalu ditempatkan dalam ruang, muncul potret diri, dan idiom-idiom lain yang sebelumnya tak ada. Meskipun secara anatomis gambaran manusia maupun benda-benda tak sepenuhnya ia kuasai hingga kita tak bisa melihat keberadaan ekspresi, dan karakter pada figur-figurnya, tapi kita tahu apa yang ia gambar. Ada laki-laki yang diberi tali anjing, diikatkan pada seluruh tubuhnya, ada serombongan pelayan sedang memegang piring berisi penis, bersiap dihidangkan, ada wajah Agung bertubuh lembu, berkalung salib, ada penis raksasa yang menarik anak kecil masuk ke dalamnya, ada robot separuh manusia yang sedang masturbasi dengan sosok manusia lain di dalam kamar mandi, dan sebagainya. Gambar penis muncul di hampir semua gambar Agung, entah itu tampak seperti jari tangan kecil pada selangkangan anak-anak, atau digambarkan besar, bak mesin.

Kini, yang tertinggal hanya tafsir. Gambarnya membuat kita diam mengamati detail-detailnya, figur apa saja yang ada di sana, sambil berusaha merunutkan ceritanya, namun gagal. Kali ini, ceritanya lain. Ia tampaknya tak bisa diceritakan secara linear seperti sebelumnya. Mereka tentu punya cerita, menyusun ceritanya sendiri dengan logika berbeda dari yang biasa kita bayangkan dalam kesadaran.


2/automatic drawing


Ia menyebut metode barunya tersebut “automatic drawing.” Bagi Agung, ini merupakan cara melatih dirinya untuk menggambar tanpa tema, rencana, dan plot cerita yang punya awal dan akhir – hal-hal yang sejak lama ia lakukan. Di atas kertas putih ia langsung menggambar, dan menurutnya, gambarnya kemudian berkembang tanpa rencana.

Istilah “automatic drawing” spontan mengingatkan saya pada “automatic writing,” sebuah metode khas yang digunakan oleh André Breton, Comte de Lautréamont alias Isodore Ducasse dan kawan-kawannya – yang kemudian menyebut diri sebagai surealis – untuk menulis, juga melukis. Freud menyebutnya asosiasi bebas, free association- Ini sejenis metode yang menggunakan asosiasi bebas untuk mengeluarkan isi wilayah bawah sadar, dan ambang sadar, melalui pembebasan gerak tangan dari pikiran hingga tangan bergerak spontan tanpa didikte apapun. Hasilnya, coretan-coretan bebas bak scribble. Andre Mason, Jean Arp, dan Joan Miró, antara lain yang pernah menggunakan metode ini.


Dalam gambar Agung, “automatic” lebih dipahami sebagai sesuatu yang berkembang tanpa rencana. Karena itu, yang muncul bukan garis-garis liar dan spontan. Ia tetap terikat bentuk. Dalam konteks Agung, yang dibebaskan bukan bentuk, melainkan interaksi antar figur, obyek dalam gambar. Mereka bergeser dari yang naratif menjadi nonnaratif (bukan ‘tanpa narasi,’ melainkan ‘narasi tak terencana,’ semacam ‘narasi’ lain di balik narasi yang common sense), dari yang kronologis-linear menjadi yang nonkronologis. Pendek kata, mereka berinteraksi tidak dengan jenis interaksi yang ada dalam kenyataan, bahkan obyek-obyeknya seringkali tampak tak lazim untuk berinteraksi. Ini mengingatkan saya pada de Lautréamont yang pernah bilang betapa indahnya menyandingkan payung dan mesin jahit.

Pada Musa Paradisiaca, seri gambar kecil pada kertas, terlihat berbagai adegan tak biasa pada tiap bidang gambarnya: separuh badan manusia yang terpotong (bagian atasnya berada pada atap rumah), dua ranjang berkasur dengan sprei putih serupa ranjang rumah sakit, ember berisi cairan merah, lelaki bertubuh rusa, bersayap, ruangan bertiang kayu pohon yang dibawahnya diberi ember, potongan tangan yang diberi roda, dan lainnya. Gambar-gambar “tak saling nyambung’ yang diletakkan bersisian nyaris menempel satu sama lain bak panel-panel komik itu memancing imajinasi kita.


Panel-panel khas komik yang biasanya berfungsi sebagai penyampai pesan, kini menjadi hal yang memungkinkan eksplorasi nonnaratif. Ada ruang-ruang yang tampak terpotong, dan dihadirkan melalui bidang gambar yang terpisah, kadangkala dimunculkan dengan garis frame yang lebih tebal, kendati gambar di sebelahnya adalah sambungan dari ruangan yang sama, misalnya pada Becoming Dutch(2008) dan Healing Room (2004).


Begitulah otomatisme memberi kesempatan, tak hanya bagi Agung - kendati ia dengan sadar mencoba untuk melepaskan kesadaran, tapi juga bagi kita yang melihatnya untuk membebaskan diri dari skema cerita yang dihasilkan pikiran sadar.


Melalui otomatisme, kini, Agung berhadapan dengan dirinya sendiri.


Di sana ditemukan sosok Agung yang lahir dari rekaman masa: sebelum penis tiba-tiba menjadi barang yang ditabukan, diberi “landasan hukum, saat penis masih menjadi benda yang akrab dengan dirinya dan dapat dimainkan kapan saja tanpa rasa jengah. Lihat Agung menggambar penis di mana-mana seakan tanpa pretensi, masih “kanak-kanak” seperti dalam Pieta dalam Bus(2001), juga Pieta dalam Ambulan(2001). Di sana penis bak masih menjadi yang imajiner, yang bernuansa ‘maternal’ bagi sosok Agung. Dengan kata lain, penis di sana masih belum jadi “hukum” dan bahasa. Ia belum digunakan sebagai metafor bagi kekuasaan, kerakusan, kekerasan, dan caci maki seperti pada The Dictionary of Sexuality and Politics(2003-2004).


Pada gambarnya tampak sebuah peristiwa pergeseran dari nuansa penis yang masih dirasainya sebagai sesuatu yang intim, hingga saat penis menjadi hal asing baginya, dan mungkin muncul rasa bersalah ketika ia mengingatnya, apalagi mempermainkannya. Ia tiba-tiba telah berjarak pada penisnya sendiri. Agung masuk wilayah hukum, bahasa, simbolik, meminjam istilah Lacan. Gejala ini terlihat pada Sex, Lies and Drawing (2001). Di sana penis bak secara langsung, bahkan inheren, dikaitkan dengan yang sakral, dalam hal ini agama Katolik dan segala bentuk hukumnya, misalnya pada Holy Lamb (2001), Agung bertubuh domba, terikat beberapa tali, berkalung salib terkurung ‘culun’ di dalam sebuah ruangan, dan ketika ia menjadi saksi atau sekaligus disaksikan, bak tertuduh, saat masturbasi di kamar mandi (ada sosok ‘raksasa’ bak “Sang Ayah” di belakang sosok yang sedang masturbasi) yang tak hanya urusan biologis, tapi mungkin juga ia marah pada penisnya sendiri.


Di era ini pula, perihal ruang menempati kedudukan penting. Ruang privat hampir selalu muncul dalam gambarnya, yaitu kamar tidur dan kamar mandi. Ruang privat ini tampak tertutup, namun selalu tampak ada intervensi dari “yang lain,” misalnya pada salah satu panel di Healing Room. Di sana ada sepasang mata yang muncul pada lubang ventilasi. Kalaupun tidak mengintip, ada sosok lain yang keberadaannya tampak “kebetulan,” bahkan tampak tak berelasi dengan figur yang sama-sama ada di sana, hanya lewat, namun keberadaannya terkesan sangat signifikan.


Perihal figur ini menarik. Ia bukan Agung masa kecil, bukan pula Agung yang sekarang, namun keduanya memuat keduanya. Pendek kata, mereka itulah “serangkaian” potret diri Agung. Yang dulu dan sekarang berjumpa dalam satu figur. Mereka bak sedang saling beresonansi, menjadi semacam apa yang kata Proust, involuntary memory.


Figur ‘kebetulan’ ini juga muncul pada Pontius Pilatus and His Dog (2000). Di sana tampak figur berkacamata di belakang figur besar (utama) Pontius Pilatus yang sedang mencuci tangan, atau pada sebuah wajah yang digambarkan tepat di tepi bidang gambar, hingga tampak terpotong dalam seri Sex Lies and Drawing. Kehadirannya tampak ambivalen: antara membangun kisah, juga memecah kisah. Ada pula figur yang saling berkonfrontasi atau berelasi langsung secara fisik, misalnya pada Sex Lies, and Drawingpada panel ketika seorang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki lain yang berkepala hewan, dialiri listrik untuk mengontrol geraknya, juga pada anak-anak yang sedang duduk sambil mempenetrasi penisnya yang mini di atas lelaki dewasa pada seri gambar Budiman in Wonderland(2005-2006).


Selain figur, ada “ruang dalam ruang” pada gambar Agung. Pada seri Sex, Lies, and Drawing, misalnya. Hampir seluruh sosoknya ada dalam ruang, berinteraksi di sana. Di hampir seluruh gambar ruang, ada lubang pada dinding – selain yang memang lubang ventilasi - ada semacam pintu kecil menuju ruang lain, entah ruang bawah tanah, atap, atau “dunia lain,” yang dilupakan, atau terlupakan, bak wilayah di luar kesadaran manusia.

Lubang atau ruang kecil lain, yang kadangkala menuju ruang besar lain itu bak sesuatu yang tak diperhitungkan pada bidang gambar. Tapi Agung menggambarnya cukup detail. Kalau diperhatikan, pada Sex Lies and Drawingitu, lubang kecil pada dinding berisi kayu yang terangkai membentuk semacam tempat berdoa (prie-dieu) dalam gereja. Pada Budiman in Wonderland, “ruang lain” (dalam penis) bak lorong waktu ini lebih dieksplor oleh Agung.

Di titik inilah tampaknya represi masa Orde Baru menemukan idiom “baru:” idiom yang telah berelasi dengan “rekaman masa” seorang Agung. Hasilnya, tak lagi benda-benda kekerasan dan kekuasaan untuk berbicara mengenai situasi sosial-politik, tapi tubuh, ruang, dan pengalaman personal Agung. Muncul sosok-sosok terhukum, terpenjara, terintai, dan sebagainya. Sebab kini, musuh terbesarnya adalah diri sendiri, dan agresivitas antar manusia tiba-tiba bisa dijelaskan melalui relasi antara mereka manusia dengan dirinya sendiri, dengan tubuhnya, bak masturbasi pada dua sosok yang sebenarnya juga tampak satu – saya mempenetrasi diri saya sendiri, pada Becoming Dutch. Saya yang keluar-masuk tubuh saya sendiri. Bukankah masturbasi memang menjadikan diri sendiri sekaligus sebagai orang lain, selain saya sendiri?


Maka, di sini, “automatic drawing” bagi Agung merupakan sebuah otokritik.


3/ drawing imajiner


Sebagian besar karya Agung adalah drawingyang cenderung “imajiner” ketimbang empiris. Sebab ia tak berlandas pada apa yang di depan mata, melainkan pada apa yang ada dalam pikirannya. Maka yang muncul adalah figur-figur ‘mapan’ dalam arti garis dan kebentukan hingga tampak ilustratif, imago: sebuah gambaran yang tampak paten, tampak seluruh, total, imajiner, mirror image, istilah psikoanalisa Lacan.


Kesan imajiner ini, selain pada garis Agung, juga tampak dalam olahan gelap-terang dengan teknik arsir crosshatchingyang lebih memenuhi standar teknik gambar, muncul dari bentuk obyek itu sendiri: lekuk tubuh, kain, dinding-dinding ruang, tekstur kayu, dan sebagainya yang tampak seperti yang kita tahu dalam pikiran, bukan apa kita alami sehari-hari. Agung menghasilkan chiaroscurodari pengetahuannya tentang bentuk, bukan dari studi panjang yang on the spot.


Dalam drawing, hal paling mendasar adalah garis. Dan ketika Agung mengatakan bahwa ia pemuja garis, saya merasa harus menoleh perjalanan garis dalam sejarah seni.


Renaissance tak hanya sebuah titik balik dalam sejarah seni, tapi juga kelahiran disegno,rinascitá del disegno, kata Vasari (Bahasa Italia yang berarti desain, drawing). Pada masa itu, drawing dikaitkan dengan “treating the contour” hingga garis di sini memegang peran utama dalam menghasilkan bentuk. Demikian Florence abad ke 14-15. Di zaman itu, seniman melatih gerak tangannya sendiri berhadapan langsung dengan obyek, on the spot. Dalam arti ini, drawing mendasarkan diri pada obyek konkret, ia lahir lewat pengamatan detail terhadap benda-benda sekitar, dan kemampuan tangan untuk “meniru” benda itu lewat garis dan arsir.


Sejak itu gambar mengabdi pada bentuk yang nyata.


Tapi dalam kasus Agung beda. Saat penyampaian kritik sosial lewat gambar, semacam poster, komik, dan berbagai media grafis lain marak di di masanya, sekitar 1990, dan situasi sosial-politik memanas, ia mulai aktif menggambar bersama komunitasnya, Bulaksumur, UGM. Situasi tersebut mempengaruhi karya-karya awalnya, Pseudo History(1996), Seri East Timor(1996), figur penuh, anonim, massal, komposisi tumpang tindih, dan dengan idiom militerisme seperti pada Soeharto Visiting Zagreb(1996), Swasembada Beras(1996), dan Very Happy Victim(1996). Ada juga figur-figur tunggal dalam satu bidang gambar, yaitu pada seri Bidadari 1996. Itulah cerita tentang kekerasan yang sudah terinternalisasi dalam diri manusia, hingga tak lagi disadari oleh mereka, dan Agung ingin membongkar kekerasan yang sudah demikian teramini oleh masyarakat kita itu.


Karena itu, sifat komunikatif pada gambar Agung lebih ditekankan dibanding ekspresi itu sendiri. Tarikan garis pada gambar Agung cenderung terencana-komunikatif dibanding spontan-ekspresif. Karena itu, imaginary drawingsebagai suatu bentuk dan cara, kendati tak ekspresif, punya kekuatan menyampaikan pesan sosial.


4/gambar tumbuh


Selanjutnya, di 2004-2009 muncul “sisi robotik” dari gambar Agung: manusia yang saling merasuk dengan mesin, teknologi: manusia-listrik, manusia-robot, manusia-roket, manusia balon udara, dan sebagainya dipadu dengan isu-isu politik. Di sini Agung kembali pada tema sosial-politik, misalnya karya full colorpada kanvas periode 2004-2009, di antaranya The Birth of the Artist(2004) yang secara visual masih memuat ikon agama: tiang rumah yang di tengahnya ada wadah air suci untuk dicelup tangan umat Katolik sebelum masuk gereja. Ada juga tema relasi seniman dengan dirinya, Self Portrait as a Super Consumer(2007), seniman dan kurator, misalnya Artist is Constructed Machine(2009), Seniman dan Kurator(2009) yang mengingatkan kita pada booming seni rupa Indonesia 2007-2009. Pada 2010-2011, Agung kembali pada memori: ia berusaha mengingat-ingat. The Golden Boy(2010) dan The Guardian Angel(2011) antara lain yang sarat kisah dan nuansa “suram” khas Agung.

Ada satu istilah lagi dari Agung untuk gambarnya, yaitu “gambar tumbuh.” Gambarnya “tumbuh:” ia terus memiliki sambungan cerita, sambungan figur tanpa henti ketika Agung mengamati dan memulainya lagi. Karena itu, ada kecenderungan rupa yang hampir sama dan berulang pada tiap periode, lorong labirin, penis, gelembung udara, tali-tali, kaca spion, roket, aliran listrik, potongan figur manusia, dan sebagainya, misalnya pada komik Sperm Park(2006), Flying Man(2006), juga Mesin Hasrat(2006) – dua yang terakhir ini Agung seperti sedang membebaskan drawing dari bentuk yang definitif, bak mengatakan bahwa manusia adalah mesin (hasrat).


Di sini kita lihat gambar-gambar yang tumbuh tidak karena garis, melainkan dari ide yang naratif, asosiatif: tiap kali ia kembali dan melihat gambarnya, muncul hal lain yang ingin digambar. Agaknya, justru di sini letak otomatismenya - yang mungkin tidak disadari Agung dibanding saat menjadi metode di era “automatic drawing:” ia (otomatisme) hadir di antara ‘momen’ tumbuhnya gambar.


Di sini, drawing Agung tampaknya lebih relevan untuk tidak dibaca dalam artian estetis, melainkan tematik. Di balik idiom politik dan agama Katolik itu, tersimpan pembicaraan panjang mengenai agresivitas, narsisisme, dan obsesivitas manusia. Ia seakan mengingatkan pada kita bahwa apa-apa yang telah kita yakini sedemikian rupa tak lain hanya lubang dari konstruksi “menjadi manusia” lewat bahasa. Manusia hanya lubang – yang pada dirinya terlanjur yakin atas kepenuhannya – yang tak lain adalah (hanya)imago.


Stanislaus Yangni

bottom of page