top of page
Writer's pictureStanislaus Yangni

Moelyono dan Persoalan Seni Relasional

Essay for Moelyono's Solo Exhibition, Bara Nyala Mama Mama, Ark Galerie, 2016




1/ seni dan masyarakat


Setelah mooi indie dikritik oleh para pelukis PERSAGI di tahun 1940-1950an, selanjutnya realisme merekalah yang menjadi sasaran kecaman para pendukung GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru yang lahir 1970an), termasuk Moelyono. Mengapa? Sebab bagi Moel, mereka hanya “tukang lapor keharuan.” Dengan cara apapun mereka berusaha “berdialog” dengan masyarakat lewat kanvas-kanvasnya, bagi Moel, tetaplah tidak ada dialog. Walaupun Affandi bolak-balik bertemu dan berbincang dengan pengemis karena ingin melukisnya lebih dalam, tidak hanya dengan kesan pertama yang menimbulkan hanya rasa kasihan, bagi Moel, bukan di situ letaknya. Seni harus bisa mengubah masyarakat. Kalaupun pada 1950an perihal rakyat, masyarakat dan kerakyatan sangat dominan mempengaruhi cara berkarya seniman, namun bukan itu pula yang dimaksud Moelyono. Karena itulah, Affandi, Soedjojono, Hendra Gunawan yang jelas-jelas bergulat “melukis” dan berusaha “menghadirkan” rakyat dalam lukisannya, menjadi sasaran serangan estetika “kerakyatan” ala Moelyono. Alasannya satu: mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat secara konkret dengan melukis di atas kanvas. Terjun langsung, melakoni! Itulah yang ingin dipraktekkan Moelyono. Begitulah akhirnya ia menamai seni rupanya: seni rupa dialogis transformatif.


Seni rupa Moelyono tersebut lahir tak hanya dari kritik terhadap persoalan lukis-melukis ala anggota PERSAGI, melainkan juga dari apa yang dihadapi Moelyono di ASRI 1970an hingga 1980an, yaitu seni rupa akademis yang sarat pengkotak-kotakan antara seni murni dan seni terapan, “seni tinggi” dan “seni rendah.” Dalam konteks seni rupa akademis, seni punya batas, definisi, dan cara kerja yang distandarisasi. Jengah dengan itu semua, Moel membelot, memberikan cara berkesenian dan jenis tampilan visual yang berbeda. Baginya, batasan-batasan itu harus dihapus, termasuk batasan medium berkaryanya. Mungkin semangat itu yang membuatnya melaju terus mencari apa yang diyakininya, bahwa seni itu bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan perubahan sosial bisa terjadi lewat dialog langsung dengan masyarakat. Selanjutnya, tidak muluk-muluk, mulai pertengahan 1986, mahasiswa ASRI (ISI) dengan tugas akhir karya berjudul KUD (Kesenian Unit Desa) yang ditolak oleh dewan penguji pada 1985 itu, ingin belajar mencerna apa yang ada di luar sana – meraba persoalan masyarakatnya, dan mencoba membantu memecahakannya bersama masyarakat di dusun-dusun terpencil sekitar kampungnya sendiri, Tulungagung.

Kendati masuk dalam ranah kesenian gaya GSRB, Moelyono juga mencoba bersikap kritis terhadap karya teman-temannya yang memfokuskan diri memihak dan ‘menyuarakan’ masyarakat itu. Sebab ia mengerti, bahwa masyarakat memiliki sesuatu yang hanya dapat dipahami lewat hidup, tinggal bersama mereka. Maka, pada tulisannya “Sebuah Proses Seni Rupa Kagunan,” Moelyono mengkritisi pameran seni rupa baru 1987, Pasaraya Dunia Fantasi. Ia mengatakan: “Mereka memamerkan idiom-idiom seni rupa rakyat; bukan hakekat kesenian rakyat.[1]Rakyat masih berdiri sebagai obyek; yang diam, pasif dan yang berhak bicara serta tampil adalah para peseni rupa baru tersebut. Ini adalah kekeliruan cara pandang tentang: apa dan siapa rakyat.”[2]


Kritik Moelyono yang cukup keras itu bukan tanpa alasan. Rakyat itulah yang menjadi pergulatannya bertahun-tahun. Dari situlah terbangun kepekaan membedakan antara mana yang sekadar “idiom rakyat” dan mana yang “hakekat rakyat.” Moelyono seperti “turun ke bawah” di zaman di mana “Turba” itu tidak lagi menjadi “ideologi.” Tren “Turba” sudah lewat, namun bagi Moelyono, gagasan “turun ke bawah” itu – meskipun bukan lagi dengan istilah “Turba” yang sarat muatan ideologis, menjadi langkah awal bagi keseniannya, hingga tak heran ia sempat dicurigai PKI dan diinterogasi ketika live inbersama masyarakat di Brumbun dan Nggerangan yang ternyata termasuk wilayah persembunyian orang-orang PKI.


Dari pengalaman itu Moelyono menemukan bahwa seni tidak terpisah dari keseharian masyarakat. Bahkan, mungkin, di mana ada rakyat, di situlah kesenian hadir. Bagi Moelyono, seni mengandung nilai guna, bukan sekadar pajangan, hiburan, atau katarsis sekalipun. Dalam konteks ini, tersirat makna lain, yaitu bahwa setiap orang adalah seniman (atau: “pencipta kebudayaan,” sebutan Moelyono di beberapa tulisannya).


Dari tinggal di daerah rawa-rawa desa Waung bersama para petani, Teluk Brumbun dan Nggerangan bersama anak-anak nelayan, Kebonsari Trenggalek bersama beberapa kelompok pemain gamelan, wayang wong, dan sholawatan, dusun Ngguyangan bersama anak-anak petani mendirikan sekolah Sanggar Belajar Anak Tani berikut rancangan kurikulumnya, dan berbagai wilayah terpencil lain, Moelyono menemukan satu hal mendasar untuk diperjuangkan, yaitu pendidikan anak usia dini (0-5 tahun) demi penyadaran masyarakat. Sejak itu keseniannya mengarah ke hal yang lebih mendasar, yaitu perihal menciptakan “manusia.” Ia berjumpa dengan semacam konsep “pendidikan penyadaran.”

Berbagai pameran muncul setelah “live in” nya Mas Moel yang kadangkala ia sebut sebagai “kerja budaya” itu. Pada awalnya, ia tampak masih mencari bentuk yang pas, “mencoba-coba” memberi nama untuk pamerannya: pameran konsep, pameran seni rupa refleksi kehidupan nelayan, pameran praksis, presentasi kerja visual, dan sebagainya. Lokasinya pun beragam, dari di dinding gedek rumah pak Jono tempat ia pertama kalinya memamerkan karya gambar anak-anak Teluk Brumbun, hingga di galeri (kontemporer).


2/ dari seni rupa penyadaran ke seni kontemporer


“Art, likewise, is no longer seeking to represent Utopias; rather, it is attempting to construct concrete spaces.” (Nicolas Bourriaud)


Zaman bergerak. Sekitar 1960, Indonesia perlahan meninggalkan tradisi sanggar, menggantinya dengan tradisi akademis yang kemudian menemui “jalan akhirnya” ketika beberapa mahasiswanya mulai mencari apa yang ada di luar kampus. GSRB yang pada 1975 berjaya pun telah bubar pada 1979. Meski meninggalkan pengaruh besar bagi karya seni rupa masa itu, namun orientasi seni setelahnya tidak lagi pada perlawanan terhadap “seni rupa akademis,” melainkan terhadap penguasa Orde Baru yang mencapai puncaknya pada 1998. Beberapa tahun setelah itu, ketertarikan atas isu politik mulai bergeser karena sudah tak ada sosok kunci yang dilawan. Para seniman mulai disibukkan dengan hal lain yang lebih keseharian, remeh-temeh tapi sarat dengan persoalan antar manusia; perihal pemukiman, transportasi, konsumsi, teknologi, dan sebagainya. Pendek kata, seni tak lagi berusaha merepresentasikan sesuatu yang di awang-awang, atau bergerak ke sebuah tujuan, atau cita-cita tertentu, melainkan ke ranah sosial-manusiawi dengan segala isunya. Seni, pendek kata, lebih bersifat relasional (meminjam istilah Nicolas Bourriad) – dengan lebih banyak memberi perhatian pada interaksi antar manusia di ranah yang lebih sosial dan keseharian. Begitulah, seni rupa Indonesia menamai diri sebagai “kontemporer” dan mulai membenahi infrastrukturnya.


Konsep pameran pun bergeser, mencoba mencari formasi baru yang lebih pas. Maka, kalau di masa sebelumnya nama-nama semacam seni rupa pembebasan, seni rupa rakyat, seni untuk rakyat, seni politik, dan sebagainya menjadi isu penting, kini seni rupa kontemporer menyediakan diri dengan aktivitas artistik yang jauh lebih luas, isu yang lebih beragam, dan mewadahi berbagai jenis eksperimen visual. Ia hadir dengan nama-nama yang lebih beragam pula: seni partisipatoris, seni performance, seni kolaboratif, video art, new media art, seni berbasis riset, dan sebagainya. Orang diajak untuk tidak hanya menonton, tapi mengalami. Ada upaya untuk mengaburkan batas antara aktor dan penonton, antara seniman dan penikmat seni. Penonton diajak terlibat, misalnya pada seni interaktif, seni performans, dan sebagainya agar mereka bisa mengalami langsung (yang sebenarnya “tidak langsung” juga).


Perihal mengalami langsung itu bukan hal baru bagi Moelyono – sebab ia telah mulai dari sana jauh sebelum itu dirumuskan. Dimulai dari perjalanannya memasuki dusun terpencil, hingga keterlibatannya yang penuh di sana, merambah ke dusun-dusun lainnya ... yang hampir tidak mungkin terjadi tanpa passion! Bisa jadi, ketika memasuki dunia kanak-kanak di Teluk Brumbun, Moelyono sebenarnya sedang ‘kembali’ pada esensi seni itu sendiri, pada seni yang memihak kehidupan, seni yang jujur. Mungkin di sana Moelyono bisa melihat tempat di mana kesenian lahir. Dan pada akhirnya, kita bisa menemukan bahwa seni bukan hanya sebatas medium, tetapi juga metode, keterlibatan, dan kreatifitas menyelesaikan masalah. Seni adalah perihal berpikir dan bertindak; perihal melakoni hidup (bersama).

Dari sisi ini, proyek seni rupa dengan pretensi “penyadaran” tampak menjadi sesuatu yang utopis. Ia – kalaupun pada kenyataannya terjadi dialog dua arah, namun istilah “penyadaran” mengesankan ada dua pihak, antara yang “belum sadar” dan perlu “disadarkan,” dan ada subyek yang sudah “sadar,” “tercerahkan.” Ada subyek yang sudah “terbebaskan” dan ada yang harus “dibebaskan.” Meskipun pada kenyataannya terdapat pihak yang tertindas, perlu diperjuangkan, dan sebagainya, itu benar. Tapi saat Moelyono melakukan “kegiatan budaya”nya, sebenarnya ada sisi lain yang melampaui unsur “penyadaran” atau “pembebasan,” yaitu relasi, interaksi riil antar manusia. Bukankah tak ada yang “sudah sadar” dan “perlu disadarkan” ketika bermain dengan anak-anak dusun Brumbun? Walaupun mungkin terdapat “pretensi” untuk memancing kesadaran dan sikap kritis anak-anak terhadap berbagai masalah di sekitarnya. Interaksi antara Pak Guru dengan muridnya ini berlangsung dua arah, spontan dan dengan sendirinya saling “menyadarkan.” Bukankah peristiwa itu telah memuat interaksi antar manusia yang natural tanpa pretensi menyadarkan? Di titik ini mungkin Moelyono tak sepenuhnya menyadari, bahwa karyanya lebih jauh dari proyek penyadaran; ia memuat keterhubungan, berbagai perjumpaan antar manusia konkret di ruang konkret.


Gambar anak-anak yang dijadikan kartu pos dan dibagikan di antara mereka sendiri, dan beberapa orang terdekat, misalnya. Sebuah peristiwa sederhana yang sarat perjumpaan. Gambar itu tak lagi hanya mengungkap persoalan konkret (yang disadari) yang ada di antara mereka: pak mandor yang galak, rumah kebakaran, orang-orang di pengungsian akibat Tsunami, dan sebagainya, melainkan jalan masuk ke keseharian warga, relasi antar manusia dalam sebuah dusun, juga manusia dengan alamnya. Menggambar menjadi semacam “laku,” tidak sekadar representasi kehidupan masyarakat dusun. Maka, yang penting bukan apa yang ada di atas kertas, tetapi berbagai perubahan yang terjadi di tengah masyarakat melalui kegiatan, atau “laku” menggambar. Maka, kegiatan berkesenian tidak hanya sebatas problem solvingyang memecahkan masalah secara sadar, melainkan membuka kemungkinan penyelesaian lain yang seringkali luput dari kesadaran.


Karena itu, saya tidak bisa membayangkan jika gambar itu “dipindah” lokasinya, misalkan dipamerkan di tempat lain. Penonton mungkin hanya bisa mereka-reka persoalan lewat gambar mereka – tak banyak kemungkinan yang tercipta, sebab gambar itu lahir di kejauhan sana. Gambar-gambar itu berakhir pada representasi persoalan masyarakat di atas kertas yang menumbuhkan simpati dari penonton pameran.


Hal lain, aktivitas Moelyono bersama masyarakat Wonorejo membahas perihal pembanguan bendungan, strategi mengatasi banjir yang kerap melanda Tulungagung, pengeringan lahan eceng gondok untuk dijadikan lahan tanam di Waung, dan sebagainya. Aktivitasnya itu bukan tidak mungkin menjadi “karya seni” Moelyono! Imaterial, memang. Begitulah, agaknya galeri (seni) Mas Moel bukan di galeri yang biasa kita kenal dalam infrastruktur seni rupa, melainkan kampung. Galeri Moelyono adalah ruang-ruang interaksi di antara dialog masyarakat, Sanggar Belajar Anak Tani, di antara wejangan ibu-ibu, di antara komunikasi penduduk perihal lahan tanam, pengairan, dan sebagainya. Pendek kata, pak Moel tak butuh “ruang pamer” yang dianggap sah (galeri). Kalaupun ia bisa disampaikan lewat benda seni di dalam galeri, namun, saya kira, kesenian Mas Moel tidak perlu itu.


3/ Moelyono di ruang pamer


Saat membongkar satu-satu data yang dibawa Moelyono, saya menemukan banyak hal. Bukan perkara informasi atas sosok Moelyono dan kegiatannya, bukan pula kenangan masa lalu, sebab itu bukan kenangan saya tentu saja, melainkan sebuah rasa lain yang melanda ketika membolak balik sendirian kliping dan berbagai kertas-kertas tua itu. Di sana saya bisa merasakan kedekatan Pak Moel dengan anak-anak dan masyarakat. Karena itu, saya memilih untuk tidak sekadar memperlakukan kertas-kertas itu sebagai data (referensi) saja, melainkan menelusuri peristiwa yang hadir berikut jenis “rasa” nya di dalam sana, hingga muncul pertanyaan dalam diri saya, “Tapi kenapa harus pameran?” “Kenapa harus galeri?” “Kenapa harus ‘sengaja’ “membuat” karya?”


Saya mencoba merunut sekilas perjalanan pameran Moelyono. Pameran Moelyono di periode 1988-1990an di antaranya Pameran Seni Lukis Anak-Anak Nelayan Brumbun Tulungagung kerjasama sanggar seni rupa “Pelangi” dengan Depdikbud bidang kebudayaan Tulungagung (1987) yang di dalamnya ada daftar nama peserta pameran yang terdiri dari murid-murid SD, dan Moel sebagai guru gambar mereka. Di dalam katalog, ada satu tulisan mengenai kondisi geografis dan sosial wilayah dusunnya. Anak-anak itulah yang pameran.


Selanjutnya, di atas 1994, ada kecenderungan melakukan kolaborasi, partisipasi dengan masyarakat, misal pameran di Cemeti, Lintang Desa yang diberi judul “Pameran dan Pertunjukan Seni Rupa Petani” – Moelyono dengan warga desa Kebonsari Pacitan yang “tampil” di sana. Selanjutnya, kecenderungan kolaborasi masih kentara, namun di beberapa pameran agaknya telah menjadi lebih “tunggal,” misalnya pada Orde Batu (1999) perihal Orde Baru, Topografi Ingatan (2009) perihal Tulungagung, Nestapa Tanah Papua (2014) di Malaysia, dan Bara Nyala Mama Mama (2016) perihal Papua. Beberapa pameran tersebut seperti “menarik” Moelyono yang sebelumnya punya fungsi ganda fasilitator, organisatoris, peneliti, dan guru gambar itu masuk kembali pada infrastruktur seni (galeri) yang menempatkannya sebagai pencipta karya (seni), sementara masyarakat masih terlibat namun hanya sebagai subyek, bukan seniman (aktor).


Moelyono, bagaimanapun juga, setelah sekian tahun “murtad” dari “seni rupa,” terpaksa berhadapan kembali pada sesuatu yang sulit dipercayainya sejak dulu, yaitu seni rupa dengan “obyek seni” yang diam, terpajang di ruang-ruang galeri. Ini pasti berat. Sudah waktunya bagi Moelyono beranjak ke bentuk lain. Atau mungkin pameran awal 2016 ini bisa menjadi proses menuju ke sana.


Lalu kalau bukan infrastruktur seni (kontemporer) yang sekarang ada, lewat mana Moelyono terhubung dengan dunia seni? Kembali ke rakyat lewat pendidikan (non) formalnya, mungkin itu yang bisa menjadi jalan “lain” Moelyono bertransformasi. Seni dan gerakan pendidikan. Sejak lama Moelyono telah “memancing” anak-anak berpikir lewat bermain. Karya seni Moelyono agaknya terletak pada aktivitas bersama itu, menciptakan sesuatu bersama yang bisa digunakan untuk bersama: menciptakan ruang-ruang relasi baru bagi benih pemikiran yang menuntun pada tindakan. Jadi sejak awal, seni rupa Moelyono tampak imaterial – ia bukan obyek seni (rupa) yang bisa ditempatkan di ruang-ruang pamer kita, sebab ia lebih “berbunyi” jika ada bersama masyarakat pada konteksnya.


Ada yang hilang dari Moelyono ketika ia beranjak ke ranah “ruang pamer” namun sekaligus ada tantangan baru yang mungkin sama beratnya, yaitu transformasi karya ke arah mana yang harus ia lakukan untuk “berdiam” di galeri? Ke arah manakah “seni rupa penyadaran” Moelyono bergerak jika ia “dijadikan” “obyek estetik”? Bagaimana menghadirkan “seni sebagai metode,” “perubahan sosial” dan sebagainya itu di ruang pamer? Bagaimana menghadirkan dialog antar manusia di galeri? (bukan lagi hasil refleksi atas dialog yang sudah dilakukan, melainkan langsung menghadirkan “dialog” dan “metode” nya itu, bukan pula refleksi hasil kerja budaya, melainkan “kerja budaya” itu sendiri yang hadir). Bisa jadi, Mas Moel akan berpikir juga mengenai “realitas lain” di luar realitas (konkret)” – semacam menghadirkan kembali apa yang pernah benar-benar hadir namun di ruang dan waktu yang berbeda. Mungkin itu bisa dilakukan, tapi ada satu hal, bahwa yang hadir tentu berbeda – sebab relasi (manusianya) nya sudah selesai, dibekukan ketika ia sudah dipasang – dan yang muncul adalah hal lain lagi. Sebab bagaimanapun, imbas sosial akan lebih kentara dalam ruang publik (dalam hal ini moel dalam ruang “desa-desa” nya itu): kampung sebagai galeri.Keterhubungan masyarakat itulah galeri Mas Moel. Saya percaya usaha membuat ”karya” semacam itu bisa dilakukan Moelyono mengingat begitu dekatnya ia dengan masyarakat, namun, kalaupun itu bisa dilakukan, tidakkah apa yang hadir di sana menjadi obyek yang dilegitimasi galeri menjadi “karya seni?” Atau, sebuah tantangan lain, dan yang saya yakin ini pun bisa dilakukan oleh Mas Moel, yaitu mengembangkan senirupa non galerinya itu.


Pada akhirnya, saya berpikir: pertama, jangan-jangan seni rupa Moelyono lebih baik “dipamerkan” di desa di mana ia “turun,” bukan di kota atau negara yang “lepas” dari keterhubungannya dengan masyarakat yang ia geluti. Kedua, seni rupa Moelyono tidak untuk dipamerkan, melainkan untuk dijalankan bersama. Kolaborasi ala Mas Moel bukanlah perihal merancang karya dalam ruang pamer, melainkan lebih dari itu: langsung bersama masyarakat membangun kebudayaan, antara lain lewat strategi mengatasi persoalan tanah magersari, drainase air, dan penumbuhan kepercayaan diri untuk memainkan kembali seni tradisi. Kesenian Moelyono adalah perihal berproses bersama menjadi subyek kebudayaan, tak sekadar aktor di ruang pamer.


Akhir kata, saya mengutip kata-kata Moelyono dalam Seni Rupa Penyadaran: “Seni komunitas sebagai gerakan daya hidup, upaya hidup, posisinya berada di pinggiran, bukan pada arus mainstream kesenian negeri ini. Dengan posisi di pinggiran, dia akan ulet dan terus bergulir makin melebar”[3]


Stanislaus Yangni


[1]Cetak miring oleh penulis.

[2]Moelyono, “Seni Rupa Kagunan” yang menurut pemamparan Moelyono ditulis pada 1990-1991.

[3]Moelyono, “Seni Komunitas” dalam Seni Rupa Penyadaran, Bentang 1997

Comments


bottom of page