This draft and some notes here presented at Book Discussion "Sejarah Estetika," Kedai Kebun Forum, 2016
Pengantar gambaran buku.Mungkin ini buku pertama soal estetika di Indonesia yang membahas cukup komprehensif (walaupun tidak sangat), tapi setidaknya memang belum pernah ada di Indonesia yang menuliskan sejarah pandangan yang berkaitan dengan estetika ....semacam buku teks, ensiklopedi pemikir yang memikirkan soal keindahan, seni dan secara khusus pada estetika. Lengkap sampai ada daftar bacaan/panduan bibliografis tiap zaman, glosarium, dan indeks. Selamat untuk martin yang dengan energinya memilih, membacakan, dan menuliskannya untuk kita. Layout, jenis font itu membuat nyaman dibaca. (1) Menyertakan kutipan dari teks asli, baboon, paling tidak mengizinkan pembaca untuk membandingkan apa yang dipahami aslinya. Martin mencari, memilih dan menyertakannya di situ untuk bisa kita cicipi. (2) Ada Kehati-hatian dalam menjabarkan konsep dari seorang filsuf – ia berpikir dalam konteks apa, istilah itu dipakai dalam situasi/konteks tertentu ... sehingga terlihat masing2 dari mereka itu punya argumen logis bisa diterima namun sekaligus problematis (Penjelasan mengenai konsep tertentu yang dipilah pemahamannya, dalam konteks apa digunakan, dan bagaimana sang tokoh memakainya, misalnya ....). (3) Menghadirkan pengaruh pemikiran ke tokoh siapa saja runtutannya. (4) Menghadirkan poin-poin perdebatannya sepanjang masa dan yang selalu berulang namun dalam bentuk lain... misalnya... (5) Martin merangkumkan semacam kesimpulan kecil di tiap bab untuk menjadi penghubung dengan periode berikut ... Terlihat bagaimana masing-masing periode sejarah memiliki kekhasannya sendiri dan sumbangannya di periode berikutnya.
Soal pengalaman membaca.Kesan awal, perasaan awal saya seperti membaca diktat kuliah filsafat senimungkin. rangkuman, ringkasan teori, konsep dari berbagai pemikir. Sebabnya kira-kira begini. Ketika sedang asik membaca pandangan salah satu tokoh, tiba-tiba terputus dan pindah di tokoh lain. menggantung. Di sini saya menemukan kejengkelan sendiri ketika hanya diputus sampai situ (kalau di kuliah mungkin ini memang sengaja dan dijelaskan lebih lanjut – untuk melekatkan salah satu pemikiran itu lewat “waktu non membaca”). ... lalu pindah di tokoh lain. sedang asik baca di sini, diputus lainnya, terus begitu sampai habis, kemudian lewat begitu saja. Seperti barusan melekat, sudah ditimpa lyang lain. jadi saya langsung berkata dalam hati, ini buku icip-icip. Mencicipi yang namanya estetika, yang namanya filsafat seni.nah ketika icip-icip, ada kelebihan dan kekurangannya juga. kelebihannya, itu mempermudah orang memetakan pemikiran, atau setidaknya melihat domain-domainnya apa saja dari zaman ke zaman bagaimana situasinya, gambaran umum. Pemahaman menjadi mudah. Namun, kekurangannya, bahaya dipakai begitu saja karena banyak konsep yang bisa dicomot begitu saja untuk bisa membumbui tulisan atau apapun agar tampak “seksi” – sedangkan itu belum diolah dalam konteks pemikiran yang lebih jauh. Kendati Martin cukup hati-hati untuk memaparkan konsep dan memberi konteks dan oembedaannya dengan yang lain, namun jika hanya seadanya, ada bahaya akan kesana. Ada jenis simplifikasi yang memungkinkan untuk dipakai begitu saja oleh pembaca yang “malas” mencari sumber asli atau sumber lain sebagai penguat konteksnya sendiri ketika menggunakan sebuah konsep. (2) Buku ini tanggung.Sebabnya beberapa hal: pertama, kita memang butuh informasi obyektif, tapi juga ini masih kurang dan beberapa bagian masih bolong, kedua, kalau memang mau lebih lanjut juga belum sampai sejauh itu bukunya karena belum sampai memberi “pendekatan” – semacam aspek metodologis untuk melakukan kajian seni. Buku ini hanya membantu memetakan sejarah pemikiran seni, dan selanjutnya harus kita cari lagi.ketiga, agak sulit mungkin dipahami awam, tapi juga kurang memuaskan bagi pembaca yang terbiasa dengan teks filsafat. (3) relasi gambar dengan teks dalam buku.Ini agak membingungkan karena ada yang memang ilustrasi untuk membantu menjelaskan teks, ada juga yang semacam tafsirnya martin sendiri. .... ? (4) kegamangan.Bukan cuma martin yang gamang, saya juga merasa ... kok atmosfernya sama ya dari zaman ke zaman di teks ini. Kita memang bisa menangkap perubahan zaman, pergerakan dan berbagai deskripsi zaman di dalamnya, melihat perbedaannya. Namun kok nuansanya sama ya ... dalam arti “roh” zaman sebagaimana disampaikan martin belum terlihat. Jadi pendek kata, datar. Dan saya jadi ikutan flat membacanya. Mengapa flat? Hanya karena roh zaman yang tidak hadir kah, atau karena benang merah lain yang tidak tampak? Atau datar ini hanya kesan saya saja. Saya mencoba mencari .... benang merah yang tak tampak itu dari perubahan zaman terutama darimodern ke posmo, sebab di sana saya merasa kejanggalan menguat.
Kegamangan: benang merah estetika.Kesan saya, dalam ratusan halaman, martin tampak pasti dalam menjelaskan. Tapi terlihat juga titik-titik gamang (menuliskannya). Dan yang agak kentara di bagian akhir. Seperempat terakhir buku, mungkin, setelah marxisme. Bisa jadi karena yang “rasional” perdebatan mengenai seni dan estetika masih bisa memadai “dirangkum” konsep-konsep dan argumen-argumen logisnya, sementara yang ... Kegamangan ini mungkin yang membawa saya mencoba menelusur benang merahnya. ada paradigma lain yang tampaknya harus “dibalik” martin. ..... namun ketika di bagian akhir, dia seperti memantapkan lagi pada posisi subyek pencerahan ... bukan berarti yang awal sampai kontemporer itu tidak bermasalah, tapi mungkin memang masih memadai dituliskan dengan cara demikian, ....
Soal benang merah.Setelah melewati sebelum estetika, kelahiran estetika, .... kemudian
Seni yang belum ada, kemudian kesadaran atas seni, kemudian seni yang terukur menjadi metode dan ilmu pengetahuan, kemudian seni yang dipisahkan .... kemudian seni yang ... (beauty – sublim – disgust?) Beauty itu sudah tidak memadai, tidak mungkin .... bukan karena itu tidak ada, tapi dalam konteks melihat yang sekarang, keindahan sudah tak mungkin lagi, ia mau tidak mau berelasi dengan pengalaman lain yang akhirnya ... sublim lah bentuk yang
pengalaman benang merah semacam itu yang mempermudah kita membaca sejarah juga, .... tak hanya lewat dialektika. Martin belum tampak menarik benang merahnya pergeseran itu, ia hanya menunjukkan perdebatan dari zaman ke zaman, topik perdebatan, dan dialektikanya. Mungkin kalau di sejarah seni rupa itu klasik-neoklasik-romantik-impresionis-postimpresionis-ekspresionis-kubisme – dan seterusnya ... kalau di estetika beauty-sublim-disgust? Jadi di tiap zaman mereka memiliki bentuknya sendiri – bertransformasi dalam bentuk apa di tiap zaman.
Beauty dan sublim yang belum apa-apa, setelah itu mulai berusaha dijelaskan, setelah itu berusaha dikerangka dalam teologi dan logika bahasa, setelah itu mulai dirasionalkan (pencerahan), setelah itu mulai diperdebatkan berbagai hal, nilai, obyek, evaluasi, sense, taste, selera, dsb sebagai/menjadi sebentuk pengetahuan (estetika) ... kemudian mulai ditinggalkan ... sampai pada peleburannya dengan berbagai pengalaman empiris lain ... ia mengalami reformulasi ...
Pergeseran estetika.(1) Estetika sebagai pengetahuan – estetika sebagai pengalaman, pengalaman itu tidak definitif. Karena itu wilayahnya juga tidak bisa hitam putih, melainkan abu-abu. Dan ukuran keindahan pun tidak lagi satu, bukan lagi kesenangan, tapi bisa juga rasa sakit.... bukan sekadar benang-benang merahnya saja yang semestinya hadir di teks sejarah estetika (buku ini bisa jadi bukan sejarah, tapi sekumpulan pandangan seni dan estetika dari zaman ke zaman) – sebab unsur kesejarahannya? , tapi berbagai “tafsir-tafsir ulang atas beberapa konsep (lewat sini benang merahnya juga bisa terjalin)... atau hal yang sama seperti formalisme, romantisisme, realisme, dan sebagainya itu direintepretasi lagi dalam konteks zman yang berbeda. Jenis benang merahsemacam inilah yang agaknya belum terlihat di buku martin. Termasuk di dalamnyaperjalanan tafsiritu sendiri – perjalanan pemahaman .... jadi seringkali martin hanya mengatakan “bisa ditarik akarnya ke ...” bukan penguraian bagaimana itu telah mengalami reformulasi lagi dengan perjumpaan dengan Liyan di estetika posmodern --- bentuk sambungan yang tertutup/selesai.... itu kentara banget ... jadi misalnya .... sublim yang sebagai pengalaman ketakjuban (Longinus), dan dirumuskan Kant sebagai “di luar batas/ukuran” – dan menjadi salah satu Ide ketakterbatasan, Kant mencari apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin (dia sudah membuka jalan setidaknya bahwa ada yang tidak mungkin lewat sublim dinamisnya, ... oleh Burke menjadi semacam perihal “permainan jarak” .... kemudian di posmodern menjadi sebuah proses kreasi sebab pengalaman itu menjadi pengalaman gerak, di Lacan ada “jarak” yang “dijaga” agar bisa dapat “dimainkan” .... , di Lyotard ini menjadi kemungkinan penghadiran atas apa yang tak terhadirkan ... kalau dilihat perjalanannya ... dari keindahan menuju sublim .... dari keindahan yang definitif, perkara bentuk, kemudian formless, kemudian sublim yang awalnya juga definitif sebagai perasaan, pengalaman terror, kemudian menjadi sesuatu yang ranahnya “membumi,” pengalaman manusiawi: bagaimana manusia berhadapan dengan ketidakmungkinan ... di luar kepala, “tubuh” di luar tubuh. Kalau dulu seni menunjukkan/memuat berbagai kemungkinan (yang belum ada dan mungkin ada), - representasi, imajinasi ..... kini seni menghadirkan keterbatasan atau kegagalan, atau kegamangan manusia dalam menghadirkan berbagai kemungkinan yang (pernah, dulu) diyakininya itu .... pengalaman terlepas, inhuman ...
Apa tugas berpikir ketika filsafat sudah berakhir.
Fenomenologi: cara berada yang khas dari karya – menyelamatkan obyek bukan menenggelamkannya dan kemudian mereduksinya menjadi pengalaman subyektif. Menyelamatkan obyek dan membiarkan obyek “berbicara”/muncul dan ditangkap subyek .... Cezanne justru “menyelamatkan” obyek dengan tidak meninggalkannya blur dengan latar seperti yang dilakukan impresionis.
Wilayahnya abu-abu, bermain di sekaligus. Pharmakon-obat sekaligus racun. “both,” “and” – bukan lagi “or”
Apa yang dilihat fenomenologi ponty? Cara beradanya, mengadanya karya seni. apa yang dilihat dari estetika deleuze, kreasi. Apa yang dilihat dari foucault? ... bagaimana seni dilihat dari psikoanalisa lacan ... sublimasi, bagaimana dengan lyotard, soal penghadiran apa yang tak terhadirkan, bagaimana dengan baudrillard ekonomu politik seni .... bukan pandangan tentang seni dari mereka, melainkan apanya dari seni – bagaimana seni/karya seni dilihat dari itu ... jadi bukan lagi pemahaman semacam obyek estetis, selera, .... yang ranahnya “kesadaran: melainkan bergeser .... tak ada lagi definisi hasil pemahaman, konsep, , tapi pengalaman mencari.. pengalman mengalami , pengalamna dibentuk, berelasi ... pengalaman membentuk konsep dari relasi, pengalaman ....
Estetika di luar (dalam) estetika?(2) estetika sebagai obyek pembicaraan – estetika sebagai pembicaraan itu sendiri.Estetika tidak lagi menjadi topik, tema, atau yang dalam-dalamnya didefinisikan, melainkan menjadi estetika itu sendiri yang berjarak dengan dirinya sendiri dan berbicara. Jangan-jangan estetika di posmo tidak lagi jadi disiplin, tapi martin memperlakukannya seperti tetap jadi disiplin (di hal 842) saat ia memaparkan obyek-obyek kajian estetika. Estetika yang menjadi obyek kajian di zaman modern - ----- menjadi estetika yang mengkaji dirinya sendiri, sudah jadi cara. Jangan2 sudah jadi metode, metodologi dan .... praktik, yang obyek kajiannya bisa dirinya sendiri atau praktik berkesenian lainnya? Atau jangan2 obyek kajiannya ya praktik estetika, atau estetika itu sendiri. bukan lagi obyek pengucapan, tapi pengucapan itu sendiri. bukan lagi obyek pembicaraan, tapi pembicaraan itu sendiri – dan cara bicaranya itu sendiri? kalau dulu estetika sebagai ilmu .... kini estetika sebagai pengalaman dan ....... kalau dulu estetika sebagai perayaan menemukan seni, kegairahan, kepuasan, dan optimisme, kemungkinan, kini estetika seperti ruang untuk bicara tentang tegangan, kegagalan, kegundahan atas kreasi .... dan kemanusiaan ..... (ketidakmungkinan) kehadiran (karena semua sudah hadir ... ), berbeda dengan zaman lalu yang dengan girangnya menemukan cara menghadirkan apa yang tidak hadir .... kini .... semua sudah demikian obscure..... maka estetika bagi saya menjadi nikmat ketika tidak lagi membasa apa a itu seni, apa yang memungkinkan seni, dan selera, bagaimana evaluasi karta, dan sebagainya2.Jika estetika yang saya temukan (masih) seputar pertanyaan-pertanyaan semacam .... (di hal akhir itu), ??? saya enggan belajar estetika, tidak nikmat. Terlalu positif.Enunciation, enunciated ... Estetika sebagai cara bicara, bukan dibicarakan lagi seperti zaman sebelumnya.Kemudian, martin bicara sejarah estetika tidak lewat paradigma estetika – dalam frameestetika ... kesimpulan martin dan terutama pada bagian panduan, menyiratkan estetika seperti menjadi “landasan teori” atau “kerangka pikir” untuk meneropong fenomena berkesenian. Tapi bagaimana estetika membicarakan dirinya sendiri? menuliskan sejarahnya sendiri.
Maka mungkin ini yang menjadi alasan hingga di seperempat bagian akhir itu terlihat martin sendiri seperti mengalami kondisi “ketidakmungkinan” menuliskan .... martin masih “meneropong” – hingga menemukan bahwa (terutama) yang di bagian akhir itu tidak mungkin lagi meneropong,...
Beberapa hal akhir.(1)Ini soal historiografinya (cara menuliskan sejarah), atau soal cara martin nulis (cara menulisnya martin)? Sejauh mana historiografi terkait dengan itu. jika zaman berubah, cara menuliskan sejarah bagaimanapun pasti berubah, sepertinya ini titik gamangya martin. Bagaimana menceritakansebuah pergeseran ... modern-kontemporer yang notabene itu sangat besar pengaruhnya di pemikiran. Di kosmosentris, antroposentris, teosentris, rasionalisme ... masih mungkin dengan cara meartin menulis, tapi di kontemporer posmo, agaknya ini menemukan kesulitan. Bukan sebab itu banyak dan klasifikasi, tapi benang merah perjalanan pergeserannya itu ... atau sebenarnya semuanya bisa ditulis dengan satu perspektif sejarah masa kini. Jadi bukan sekadar merangkum. Unsur sejarahnya itu terlihat di mana? dalam bentuk pembabakan masa, penjelasan mengenai masa satu dan masa lainnya, perbedaannya, bukan penceritaannya martin?(2)belum memberi perangkat metodologis yang bisa digunakan untuk mengkaji karya seni. banyak konsep dijabarkan, tapi nuansa pendekatannya itu sangat kurang, boleh dibilang tidak ada ... bukan pendekatan dalam arti menjelasan atas pendekatan. (3)Di bagian akhir ia menguraikan bagaimana kritik atau pandangan yang pernah ada di indonesia (hal 844-849) dipengaruhi atau bisa ditelusur dari pandangan yang telah lampau, namun jangan lupa bahwa kita tetap ada konteks lainnya. (4)Ketika menjelaskan di bagian akhir, bagian yang semacam rangkuman meninjau kembali estetika (hal 840-844), yang bagian apa saja yang dibahas estetika, itu rasanya martin berhenti. ia berhenti pada semacam glorifikasi kesadaran. Tema2 itu tema kesadaran tema yang .... dan bagaimana dengan seni yang lain. pengalaman estetik yang lain.., tema itu masih ontologis dan epistemologis. Ranahnya masih pengetahuan estetik, meskipun yang dibahas pengalaman estetik. Jadi kantian ....estetika masih masuk di ranah pengetahuan, masih hanya ada di kepala. Jadi estetika masih jadi ranah yang dipikirkan, bukan dihidupi ... (5)Pandangan bahwa kritik seni di indonesia selalu punya akar, bisa ditelusur akarnya di zmaan lampau. Martin seakan ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang benar-benar baru di estetika indonesia kitga, tapi bukankah tetap ada yang berbeda - sesuatu yang memanbg bisa diruntut ke belakang namun tetap berbeda dalam konteks pengalaman di sini. (6)Estetika di indonesia?Atau wacana-wacana seni yang muncul di indonesia .... kalau bukan estetika itu sendiri. Kalau di sejarah estetika barat kemunculan estetika berkembang maju, linear, .... indonesia justru, agaknya, dimulai dari pernyataan/tuduhan bahwa seni lukis indonesia tidak ada. di situlah agaknya indonesia mulai mencari, namun alih-alih memikirkannya (kendati ada beberapa seniman yang memang memikirkannaya), lewat praktik berkesenian mereka mencoba menggali itu. perihal estetika seni rupa indonesia ini menarik untuk digali lebih lanjut.
Stanislaus Yangni
Comments