top of page
  • Writer's pictureStanislaus Yangni

Memoar Kehilangan

Resensi Buku


Judul Buku: Trubus, di Mana Engkau?

Tahun Terbit: 2013

Penerbit: Buku Baik dan Sekolah Mbrosot

Halaman: 104 hal



Tiga buah benda, arloji, cincin, dan uang sepuluh ribu rupiah dikembalikan oleh Pak Camat pada Sudaryati, anak kedua Trubus Soedarsono. Tapi ada dua benda yang anak itu ingat, radio transitor dan sebuah fototustel, tak ada. “... tapi kelak akan kami kembalikan ke kamu juga,” kata Pak Pelda. Setidaknya, itulah akhir dari kisah dalam buku Trubus, di Mana Engkau?


Buku tersebut ditulis oleh Hersri Setiawan, jawaban dari tekadnya mencari Trubus Soedarsono (1926-1966), setelah ia mendengar dibacakannya surat Sri Sulistyantuti, anak keempat Trubus, yang berisi pencarian ayahnya, di Pulau Buru. Namun yang ia temukan - setidaknya dalam buku ini – lebih dari sekali disebutkan, bahwa Trubus ditembak mati di sebuah luweng di Gunungkidul. Maka, berdasarkan surat-surat dan catatan harian dari dua anak Trubus, Sri Sudaryati dan Sri Sulistyantuti, disusunlah buku yang naskahnya sudah pernah terbit pertama kali 1980an di Belanda, masih berupa surat. Naskah ini juga bukan yang pertama terbit di Indonesia. Sebelumnya, tulisan ini muncul di Memoar Pulau Buru (Indonesia Tera, 2003) yang juga ditulis Hersri, hal 459.


Informasi mengenai Trubus memang minim. Bahkan Trubus, sang pematung-pelukis, sendiri pun hilang dalam usia tergolong muda, 40 tahun, pada 1966, sekitar setahun setelah kejadian yang dinamakan “kudeta PKI.” Trubus sendiri agaknya tidak meninggalkan catatan apapun selain karyanya, lukisan dan patung-patungnya yang masih dapat kita jumpai di ruang publik, antara lain Patung Selamat Datang, Patung Pembebasan Irian Barat, dan dua patung yang sering disebut-sebut dalam buku ini, Patung Wanita Kodok dan Patung Si Denok yang masih ada di istana Bogor.


Buku Trubus, di Mana Engkauberisi ‘catatan’ mengenai peristiwa ‘tragis’ dalam hidup mereka: hilangnya sang ayah. Maka, alih-alih berkisah tentang Trubus, buku ini mengungkap lebih banyak mengenai nasib keluarganya semasa Trubus ada, dan sepeninggal Trubus. Bahkan, aktivitas Trubus tak ada yang spesifik kecuali kedekatannya dengan Bung Karno berkaitan dengan “pesanan” patung untuk kota-kota di Indonesia maupun di istana kepresidenan.


Surat Sudaryati remaja juga mengungkap adanya kedekatan antara Trubus dengan Bung Karno. Tak hanya Trubus, anak-anaknya pun, sampai keluarga Trubus, bahkan pernah ikut tinggal di istana Bogor ketika pembuatan patung yang dipesan Soekarno. Sekilas terlihat bahwa porsi terbanyak catatan Sudaryati tidak pada Trubus dan karya-karyanya, atau pemikirannya, melainkan kehidupan sang anak. Ini sangat bisa dipahami mengingat Dar masih remaja. Yang mungkin membekas adalah trauma, munculnya sebuah kesadaran baru di benak anak remaja itu, yaitu PKI yang notabene berarti “hilang.”

Tumbuhnya kesadaran seorang anak mengenai PKI ini menarik. Anak-anak Trubus memang sadar bahwa mereka adalah anak PKI, namun secara ideologis, pemikiran Trubus tampaknya tak banyak berpengaruh terhadap anak-anaknya. Trubus sendiri agaknya tak banyak bercerita mengenai aktivitas politiknya kepada anak-anaknya. Kalau pun ia beberapa kali telah diutus PKI ke luar negeri sehubungan dengan kesenimanannya, hanya kartu pos yang dikoleksi anak-anaknya untuk dinikmati, bukan pemikirannya, bukan juga kekaryaannya. Bahkan, lukisannya, interaksi anak-anaknya dengan kesenian sang bapak, tampaknya memang tak banyak, setidaknya yang terungkap dalam buku ini.


Tak banyak buku di dunia seni rupa kita yang berisi catatan harian. Kalau pun ada, beberapa di antaranya Surat-Surat Malam Nashar, jurnal Delacroix, atau Surat-Surat van Gogh pada Theo, adiknya – ketiganya menyinggung lebih banyak proses berkarya. Kalau mau dibandingkan, catatan harian Dar ini, dunia seni rupa memiliki Sudjojono dan Aku, sebuah catatan harian Mia Bustam mengenai hidupnya bersama suaminya, Sudjojono, Bapak Seni Lukis Indonesia itu. Catatan Mia Bustam tentu lebih komprehensif mengingat ia menulis itu tak di usia yang begitu dini, dan usia mereka panjang – kendati ini pun, tak spesifik berurusan dengan kekaryaan. Dari sisi penulisan biografi, surat dan catatan Dar remaja tampaknya bisa menjadi bahan dokumentasi awal untuk bicara mengenai Trubus, walau tidak untuk menilik karyanya, melainkan keberadaan, atau bahkan nasib karya-karya Trubus setelah ia hilang.


Namun, barangkali begitulah sebuah peristiwa ketika dituliskan: semakin ia dituliskan untuk dibongkar, alih-alih ia makin terlihat sekaligus makin gelap. Setidaknya, inilah yang terjadi dalam buku Trubus, Di mana Engkau?


Melalui surat-surat Dar dan penulisan ulang kisah hilangnya Trubus ini kita bak diajak bernostalgia ke suatu masa yang tentu saja pahit. Waktu itu. Sebuah romatisme yang sarat tragedi. Saya ingat sebuah kalimat, petikan dari Nell, salah seorang tokoh dalam lakon EndgameSamuel Beckett, “Kita merasa bahwa hal itu lucu, tapi kita tidak tertawa sekarang.” Dan saya mungkin bisa menambahkan satu kalimat lagi, “Dan ada hal yang dulutidak lucu, tapi kini kita tertawa bila mengingatnya.” Pendek kata, ada kesan ‘jarak’ ketika kita membaca surat-surat itu. Ketika kita membaca ulang surat-surat dan catatan harian Dar, beberapa kalimat dan kata tampak sudah mengalami “penulisan ulang” – bukan oleh Dar remaja, tapi Dar dewasa yang menulis lagi dengan ingatannya mengenai masa lalu, dan tampak telah “belajar” dari masa lalu. Kesan itu tampak dari beberapa kisah ‘romantis’ – misal nasihat ayahnya selagi ia belajar, pengalaman dimarahi ibu karena terpincang-pincang menemui Bung Karno, tentang cita-cita besar dan jiwa luhur pemimpin dan diejawantahkan oleh ‘tangan seniman,’ dan sebuah pernyataan yang tampaknya berasal dari luar Dar remaja: “Oom Soedjojono tahu ke mana ia hendak membawa seni lukis Indonesia, tapi aku sama sekali tidak tahu: ke mana hendak membawa nasibku dan nasib kami sendiri.” Bayangkan, anak tiga belas tahun bicara tentang nasib dan seni lukis Indonesia!


Tapi surat tersebut memang telah menjadi naskah yang telah ditulis ulang selain berdasar surat dan catatan harian anak remaja itu, juga wawancara Hersri dengan narasumber lain yang tentu saja tak jauh dari keluarga Trubus.


Kendati bukan baru, namun sudut pandang yang diangkat Hersri menarik karena Hersri bercerita dari sudut pandang korban, peralihan dan perbedaan yang ‘tipis’ antara “pelaku” dan “korban.” Trubus ditangkap karena ia dianggap ‘gembong PKI.’ Ia memang pernah mewakili Fraksi PKI dalam Pemilu - setidaknya itu dalam ingatan anaknya, Trubus juga tergabung dalam Pelukis Rakyat, yang ideologinya dianggap dekat dengan komunisme yang ingin diberantas waktu itu. Namun kini, ia tampak sebagai korban.


Penulisan dalam bentuk surat ini memang bukan hal baru di Indonesia karena kita pernah lihat, di antaranya Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka, Catatan Harian Seorang Demonstranyang ditulis oleh Soe Hok Gie, di posisi inilah mungkin buku Trubus, di Mana Engkau? dapat memberi sumbangan wacana mengenai negeri ini, kalau tidak bisa dikatakan spesifik seni rupa.


Stanislaus Yangni

bottom of page